Akhir-akhir ini sebagian masyarakat mudah menyalahkan pemerintah apabila ada negara lain dianggap mengklaim ‘milik kita’. Padahal upaya diplomatik sudah ditempuh Kemlu sejak 8 tahun silam.
Hal itu mengemuka di sela-sela Second Session of Like Minded Countries Meeting on the Protection of Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (LMCM-GRTKF II) atau Pertemuan Ke-2 Negara-negara Sepaham mengenai Perlindungan atas Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Legian, Bali (27-30/6/2011).
Selama 8 tahun rancangan teks legal GRTKF dalam tataran diplomatik telah diupayakan dan dibahas dalam Inter-Governmental Council, namun tidak mengalami kemajuan akibat ada pertarungan kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Perbedaan kepentingan itu terutama terkait dengan isu perlindungan sumber-sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Pertemuan LMCM-GRTKF II di Bali lagi-lagi merupakan upaya diplomatik Indonesia dalam memajukan secara signifikan pembahasan rancangan teks legal yang sempat mandeg tersebut.
Tercatat ada 19 negara sepaham ikut ambil bagian dalam pertemuan ini, yakni Afrika Selatan, Aljazair, Angola, Bangladesh, India, Indonesia, Kenya, Kolombia, Malaysia, Mesir, Myanmar, Namibia, Pakistan, Peru, Sri Lanka, Tanzania, Thailand dan Zimbabwe.
Sebagai bagian dari pertemuan, sebuah lokakarya berupa Dialog Interaktif mengenai Kebudayaan Indonesia di antara Kebudayaan Global digelar oleh Direktorat Perjanjian Internasional Ekososbud Kemlu RI, (29/6/2011).
Direktur Perjanjian Internasional Ekososbud Bebeb Djundjunan kembali menekankan pentingnya pembahasan mengenai masalah perlindungan warisan budaya nasional, terutama apa yang disebut sebagai mekanisme perlindungan defensif melalui pengembangan database warisan budaya nasional.
“Sehingga Indonesia sebagai negara pemilik warisan budaya nasional berupa GRTKF terbesar dan terlengkap dapat memberikan kontribusi signifikan termasuk secara ekonomis bagi rakyatnya,” papar Bebep di depan peserta dari kalangan pemerhati dan pelaku budaya, mahasiswa, LSM, dan perwakilan instansi pemerintah terkait.
Masyarakat Abai
Dialog menyepakati bahwa perlindungan terhadap GRTKF bukan semata-mata tanggungjawab pemerintah, namun juga seluruh lapisan masyarakat.
Juga mengemuka bahwa hingga saat ini ada pengabaian warisan budaya nasional secara kolektif, sehingga sering dijumpai warisan bersejarah baik berupa pengetahuan tradisional maupun ekspresi budaya tidak dipelihara atau diselamatkan bahkan dilecehkan keberadaannya.
Demikian juga dengan pengabaian sumber daya genetika, sehingga dimanfaatkan oleh bangsa asing dan Indonesia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Selain itu juga berbagai jenis sumber daya hayati tidak dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia dan akhirnya digunakan oleh bangsa asing sebagai produk ekonomi mereka.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah kebijakan pemanfaatan GRTKF berfokus pada pengembangan ekonomi, namun jangan secara instan saja, tetapi juga pada kebijakan saling terkait, sehingga perlindungan GRTKF harus memperhatikan pelestarian nilainya.
Tak Mengenal
Dalam dialog juga muncul pertanyaan seberapa jauh bangsa Indonesia mengetahui budayanya sendiri? Padahal budaya mengandung nilai-nilai yang merupakan jati diri bangsa.
“Anak muda Indonesia saat ini banyak yang hanya mengenal Indonesia dari yang mereka lihat di media massa seperti televisi dan surat kabar,” ujar tokoh masyarakat Pandji Pragiwaksono.
Sebaliknya media massa nasional juga lebih banyak menunjukkan aktifitas pemuda Indonesia yang banyak menuntut perubahan melalui aksi demo dan bukan menciptakan perubahan.
Kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum banyak mengetahui budaya sendiri perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat, mengingat perlindungan GRTKF Indonesia hanya dapat berhasil apabila mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dengan semangat nasionalisme dan rasa memiliki yang tinggi.
Partisipasi
Untuk mendukung perlindungan GRTKF Indonesia itu, masyarakat terutama pemuda dapat mulai mengambil inisiatif untuk berpartisipasi dengan cara-cara mereka sendiri seperti melalui kampanye di media sosial yang berkembang sangat pesat saat ini.
Secara nasional, landasan hukum untuk melindungi GRTKF itu sudah ada, baik dalam UUD 1945 pasal 28 dan 32, UU no. 11 thn. 2010 tentang perlindungan cagar budaya maupun UU no.19 th.2002 mengenai Hak Cipta. Di samping itu juga UU perlindungan sumber daya genetika serta perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang saat ini masih berupa RUU.
Penerapan dari landasan hukum tersebut dapat dilakukan dengan peran diplomasi total, melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi. Juga sangat strategis memberi beasiswa kepada mahasiswa asing untuk mempelajari Indonesia, mengangkat duta-duta budaya dari kalangan selebriti dan tokoh internasional.
Dalam hal ini pemerintah melalui kerjasama Kemlu dan Kemdiknas telah memiliki program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) dan Darmasiswa berupa beasiswa kepada mahasiswa asing untuk belajar budaya dan bahasa Indonesia. Para alumni program tersebut kini telah menjadi promotor seni budaya Indonesia di negara masing-masing.
Dialog menghadirkan empat narasumber yaitu Drs. I Gde Ardika (pemerhati budaya, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Kabinet Gotong Royong), Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA (Kepala Pusat Kajian Budaya Bali, Universitas Udayana), Tantowi Yahya (Komisi I DPR RI) dan Pandji Pragiwaksono (tokoh masyarakat), dipandu Amrih Jinangkung dari Dit. Perjanjian Internasional Ekososbud Kemlu RI. |dtc|