Gresik – Meski diprotes Pemerintah Singapura, TNI telah mantap memberi nama kapal perangnya yang baru KRI Usman Harun. Dua nama tersebut merupakan pahlawan nasional yang gugur dalam menjalankan tugas di Negeri Singa.
Usman dan Harun merupakan prajurit Korps Komando (KKO) atau yang sekarang dikenal dengan Marinir. Pangkat terakhir Usman adalah Sersan Dua, sedangkan pangkat terakhir Harun adalah Kopral.
Jika Usman berasal dari Purbalingga Jawa Tengah, maka Harun datang dari Pulau Bawean Gresik, Jawa Timur. Kehidupan keras di Bawean, perpaduan kehidupan agraris dan pesisir, telah membentuk karakter disiplin dari seorang Harun.
Pulau Bawean sendiri masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Gresik. Terletak di utara Gresik dan berjarak sekitar 80 mil atau 120 km. Untuk mencapai pulau itu, kapal adalah satu-satunya moda transportasi.
Untuk menuju Bawean, penduduk Bawean biasanya menggunakan kapal cepat Expres Bahari yang berangkat dari Pelabuhan Gresik. Kapal cepat tersebut melayani penumpang setiap dua hari sekali, minus hari Jumat. Rute Gresik-Bawean ada pada hari Selasa, Kamis, Minggu. Sementara rute Bawean-Gresik dilayani pada hari Senin, Rabu, Sabtu. Kapal ini mampu mengangkut penumpang hingga 380 penumpang sekali jalan dengan waktu tempuh kurang lebih selama 3 jam.
Kelemahan dari kapal cepat ini adalah tidak tahan dengan gelombang tinggi karena badan kapal yang tidak terlalu besar. Bila gelombang laut memuncak hingga 3 meter, maka bisa dipastikan kapal ini tak bakal berangkat. Karena hanya mengandalkan moda transportasi ini, maka sekali waktu warga Pulau Bawean yang akan pulang tertahan dan terkatung-katung di Gresik selama beberapa hari hingga berminggu-minggu menunggu gelombang kembali kondusif.
Pasokan barang ke Bawean juga tersendat karena kapal barang yang terbuat dari kayu juga tak berani berlayar. Untunglah baru-baru ini ada alternatif angkutan lain. Sebuah kapal Dharma Lautan Utama (DLU) bersedia melayani rute Bawean. Kapal ini berangkat dari Dermaga Paciran, Lamongan karena dermaga Pelabuhan Gresik tidak memungkinkan bagi kapal ini untuk bersandar. Dengan kapal berbadan besar ini, maka gelombang tinggi tidak menjadi persoalan. Biarpun gelombang sedang tinggi, kapal ini tetap berangkat, Istimewanya lagi, kapal ini mampu menampung motor dan mobil. Dan asyiknya, tiket kapal lebih murah dari tiket kapal cepat. Tetapi jarak tempuh jauh lebih lambat. Jika kapal cepat hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai ke Bawean, maka kapal besar ini butuh waktu setidaknya 8-9 jam untuk sampai ke Bawean.
Wilayah administratif Bawean terbagi menjadi 2 yakni Kecamatan Sangkapura dengan 17 desa dan Kecamatan Tambak dengan 13 desa. Rumah Harun sendiri berada di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak. Setiap orang Bawean tahu siapa itu Harun. Karena dia dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat Bawean.
Satu-satunya keluarga Harun yang masih tersisa di Bawean adalah Asiyah, adik Harun. Kebetulan suami Asiyah adalah mantan Kepala Desa Diponggo, Agung Iskalam. Dan kebetulan juga Asiyah merupakan juru kunci dari makam Walimah Zainab, yang dipercaya merupakan salah satu istri Sunan Giri yang makamnya selalu diziarahi banyak orang. Jadi, tidak sulit mencapai rumah keluarga Harun. Untuk menuju ke sana, beberapa orang mencarterkan mobil yang dijajar di pelabuhan. Di Bawean sendiri tidak ada angkot.
Jarak dari Pelabuhan Bawean ke rumah Asiyah sekitar 30 km. Jangan khawatir tersasar karena Bawean hanya mempunyai satu jalan yang melingkar mengelilingi bawean sepanjang 55 km. Tidak ada simpangan. Pemandangan sepanjang jalan sangat indah. Di kiri jalan ada laut dan di sebelah kanan ada pemandangan bukit dan sawah nan menghijau.
Tidak sulit menerka mana jalan masuk menuju Rumah Harun karena di gapura sudah tertulis besar-besar nama Jalan Walimah Zainab. Sekitar 400 meter dari gang selebar 3 meter itu, baru kita bisa menjumpai rumah Asiyah sekaligus makam Walimah Zainab yang terletak persis di seberangnya.
Rumah masa kecil Harun ada sebuah jalan setapak yang hanya selebar 1,5 meter. Rumah itu hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah Asiyah. Menurut penuturan Salim, salah satu anak Asiyah, rumah masa kecil Harun berukuran 7 x 12 meter itu sudah banyak berubah.
“Dahulu rumah itu bagian depannya terbuat dari kayu, sekarang sudah tembok. Pokoknya sudah banyak yang direnovasi,” kata Salim yang sekarang menjabat sebagai Kepala Desa Diponggo itu.
Menurut Salim, rumah itu sekarang sudah kosong dan tak ada yang menempati. Sebelumnya, rumah itu ditempati oleh kerabatnya. Namun setelah ditinggal merantau, rumah itu dibiarkan kosong. [dtc]