
Apabila ketiga pertimbangan ini dapat dijawab, maka setidaknya rumusan undang undang industri pertahanan yang sedang dibahas pemerintah dan DPR benar benar dapat berkontribusi dalam perwujudan kemandirian industri pertahanan Indonesia.
Oleh : Alexandra Retno Wulan
RAPAT paripurna penutupan masa persidangan II tahun 2011-2012 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada bulan Desember 2011 telah memasukkan RUU Industri Pertahanan sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional tahun 2012. Hal ini tentu dilakukan sejalan dengan inisiatif pemerintah untuk mewujudkan transformasi militer Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga pertimbangan mendasar yang harus dijawab dalam perumusan regulasi setingkat Undang Undang berkaitan dengan industri pertahanan. Ketiga pertimbangan tersebut adalah definisi industri pertahanan, alasan mengapa mengembangkan industri pertahanan serta kaitan regulasi dalam industri pertahanan dengan regulasi lain baik yang sudah ada maupun yang belum ada namun wajib ada.
Pertama, perumusan Undang Undang Industri Pertahanan harus bisa menjawab prinsip dasar tentang definisi industri pertahanan. Definisi merupakan hal krusial untuk menentukan cakupan serta klasifikasi industri pertahanan yang dimaksud dalam Undang Undang tersebut. Definisi industri pertahanan juga akan membantu menjawab pertanyaan mengapa Indonesia merasa harus mengembangkan industri pertahanannya.
Afrika Selatan, dalam buku putih pertahanannya tahun 1999, mendefinisikan industri pertahanan sebagai berbagai kluster pengorganisasian, baik di sektor publik, swasta maupun komersial yang baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengadaan barang dan jasa untuk aktor keamanan. Aktivitas pengadaan yang dimaksud termasuk riset, rancangan, pengembangan, produksi, tes, evaluasi, peningkatan, pengadaan/pembelian, ekspor, impor, pemeliharaan, dukungan logistik, sumber daya manusia dan manajemen proyek.
Sementara barang dan jasa yang terkait dengan pertahanan didefinisikan menjadi kapal, kendaraan, pesawat, amunisi dan senjata, termasuk substansi, material, bahan baku, komponen, sistem perlengkapan, teknik dan servis, pemeliharaan serta pendukung operasi keamanan yang digunakan dalam pengembangan, manufaktur maupun pemeliharaan alat alat tersebut.
Selain itu, Jacques Gansler, mantan wakil menteri pertahanan Amerika Serikat, memberikan cakupan dan klasifikasi industri pertahanan dengan lebih sederhana. Gansler mengklasifikasikan industri pertahanan menjadi 3 tahapan, yaitu, penyedia suku cadang, subkontraktor dan kontraktor utama yang juga dikenal dengan terminologi integrator. Selain itu Gansler juga megidentifikasi tipe industri yang tercakup adalah industri perkapalan, pesawat, persenjataan dan lain lain. Gansler menjelaskan lebih lanjut bahwa gabungan cakupan dan tipe industri dapat dikuasai sektor publik maupun swasta.
Berangkat dari dua pemahaman sejenis namun cukup berbeda ini, Indonesia harus dapat mendefinisikan sendiri industri pertahanannya. Apabila Indonesia mendefinisikannya secara luas, apakah memang kemampuan industri pertahanan Indonesia dapat memenuhi cakupan dari level bawah penyedia suku cadang hingga tahap integrator? Ataukah Indonesia memilih seperti Singapura yang terlebih dahulu memilih menjadi penyedia suku cadang atau subkontraktor dalam rantai industri pertahanan global tanpa perlu menjadi integrator.
Pertimbangan kedua yang harus dijawab adalah mengapa Indonesia butuh mengembangkan industri pertahanannya. Secara historik, Amerika Serikat mengembangkan industri pertahanannya untuk memenangkan perang. Pengalaman Brazil memberikan ilustrasi lain dimana Brazil memilih untuk mengembangkan industri pertahanannya dengan harapan dapat ikut menstimulasi pertumbuhan ekonominya.
Kedua dikotomi ini, yang dikenal secara teoretik dengan dikotomi senjata lawan nasi (guns vs. butter), harus dijawab Indonesia sebelum merumuskan Undang Undang Industri Pertahanannya. Mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah cukup baik di tahun 2011 dan melihat kecilnya potensi keuntungan yang bisa diberikan oleh industri pertahanan Indonesia selama ini, maka tampaknya alas an stratejik pertahanan lah yang membuat Indonesia harus mengembangkan industri pertahanannya. Alasan independensi persenjataan ditambah dengan pahitnya pengalaman embargo dari Amerika Serikat, maka sebaiknya Indonesia dapat mewujudkan kemandirian dalam pengadaan dan pemeliharaan persenjataannya. Apabila memang alasan ini yang mendasari pengembangan industri pertahanan Indonesia, maka sudah menjadi hal wajib bagi Negara untuk memonopoli sekaligus melindungi industri pertahanannya.
Pertimbangan ketiga, dengan landasan pemikiran Negara harus melindungi industri pertahanannya, maka dipelukan harmonisasi ataupun pembuatan berbagai regulasi baik setingkat Undang Undang maupun di bawahnya sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri pertahanan domestik. Beberapa peraturan yang harus disesuaikan misalnya adalah peraturan mengenai ekspor impor industri, terutama yang berkaitan dengan indsutri pertahanan. Selain itu juga perlu membuat regulasi mengenai akuisisi persenjataan dan salah satu yang paling penting adalah regulasi mengenai perlindungan hak karya intelektual serta rahasia teknologi yang dihasilkan dalam industri pertahanan.
Apabila ketiga pertimbangan ini dapat dijawab, maka setidaknya rumusan undang undang industri pertahanan yang sedang dibahas pemerintah dan DPR benar benar dapat berkontribusi dalam perwujudan kemandirian industri pertahanan Indonesia. Semoga dalam 10-15 tahun mendatang, Indonesia dapat memiliki industri pertahanan yang sehat dan mendukung pertahanan Indonesia.
Artikel ini diambil lengkap dari situs CSIS dan pernah dimuat Harian Detik Pagi.