Meskipun theologi agama tidak bisa dipertukarkan dan dipakai bersama, maka sebagai upaya harmonisasi antarumat beragama semua unsur atau elemen dalam pranata sosial bisa dicoba. Oleh karena agama tidak seharusnya diperdebatkan.
Menurut budayawan Emha Ainun Najdib, alat-alat kebudayaan bisa diakomodasikan bersama. Misalnya penggunaan lagu “Gundhul-gundhul Pacul”. Kemudian sholawatan menggunakan musik gereja, dan lainnya. “Agama itu seharusnya tidak diperdebatkan. Alat-alat kebudayaan bisa dipakai bersama dan dipertukarkan. Tetapi theologinya yang tidak bisa dipertukarkan, tidak bisa dipakai bersama,” urai Emha Ainun Nadjib saat menyampaikan pandangannya perspektif budaya dalam diskusi “Pranata Sosial sebagai Agen Penguatan Harmoni antarumat Beragama”, di Hotel Sahid Raya, Jumat (24/12).
Acara ini dihadiri sejumlah perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia, perwakilan Konghucu, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Sleman, dan Yogyakarta.
Sementara itu, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. Imam Suprayogo mengungkapkan, kerukunan dan hidup harmonis antar sesama yang berbeda merupakan hal baik, penting, dan harus diwujudkan bersama. “Namun persoalannya, ternyata pelaksanaannya tidak mudah,” tandas Imam Suprayoga.
Menurutnya, orang yang mengajak rukun pun ternyata juga belum tentu berhasil membangun kerukunan. Ajaran agama apa pun kiranya mengajak umatnya untuk membina kedamaian, saling kasih sayang, dan tolong-menolong. Namun pada kenyataannya, tidak jarang agama justru menjadi pemisah diantara pemeluk yang berbeda. Akhirnya agama seolah-olah menjadi pagar pembatas berkomunikasi.
“Oleh karenanya, diperlukan upaya bersama untuk mencari cara terbaik membangun kerukunan itu. Dalam upaya harmonisasi antarumat beragama harus ada saling ketemu untuk bisa saling memahami. Dengan saling memahami akan terjadi saling menghargai. Ketika sudah saling menghargai ada saling mengasihi sehingga akan menghasilkan sebuah kerjasama yang dapat membawa kerukunan antarumat beragama,” papar Imam.
Lebih lanjut, Imam menuturkan jika kerukunan sejati tidak selalu membutuhkan peraturan atau undang-undang. Kerukunan bukan selalu dimulai dan didasarkan atas kejelasan logika atau pikiran rasional, melainkan bersumber dari rasa, yang tempatnya adalah di hati. “Orang tidak akan menjadi rukun karenan ada undang-undang atau pertauran. Orang menjadi rukun karena disatukan oleh hati, yaitu saling memahami, menghargai, dan saling menyayangi,” jelas Imam.
Untuk membangun kerukunan, Imam merekomendasikan diperlukannya hati yang luas hingga bisa mewadahi semua hal yang berbeda. “Wadah luas itulah yang diperlukan dan akan berhasil menampung beraneka ragam hal yang jumlahnya banyak lagi berbeda,” ujarnya.(affan)
foto : republika.co.id