Prof.Dr.Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. Hamka adalah sastrawan besar Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No.113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Sebentar lagi, tanggal 24 Juli 2012, sebagai bangsa yang selalu mengenang jasa-jasa tokoh-tokoh bangsanya, kita pun ingin sekali membalik jarum jam sejarah agar generasi muda ikut mengetahui perjuangan panjang yang dilakukan tokoh-tokohnya. Minimal sebagai suri tauladan, agar jejak mereka selalu diikuti. Sekaligus memacu semangat mereka untuk lebih banyak berkarya. Hanya dengan sebuah karya, kita bisa menunjukkan eksistensi sebagai bangsa berbudaya.
Hamka lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.Hamka merupakan salah seorang putera bangsa yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Beliau sering dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Hamka banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Sekitar 300 buku besar dan kecil telah ia tulis. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, danMerantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Ketika munculnya buku: Aku Mendakwa Hamka Plagiat, yang ditulis Muhidin M.Dahlan saya sebagai generasi muda marah besar. Saya bilang Hamka bukan plagiator.Sebetulnya sah-sah saja seseorang mengungkap masa lalu. Tetapi di masa itu apakah persoalannya sudah selesai? Masih sebatas polemik. Sementara orang yang dipermasalhkan sudah meninggal dunia. Tidak beda dengan polemik Harian Merdeka dengan Harian Rakyat , di mana saya ikut mendengarkan langsung dari pemilik Harian Merdeka, B.M.Diah tentang Harian Rakyat ketika saya menulis buku Butir-Butir Padi B.M.Diah, tahun 1992.
Bulan Juli ini kita sama-sama berpuasa. Saat bersamaan Dakwah Buya Hamka di layar televisi yang terakhir adalah malam Jum’at, 3 Juli 1981, malam pertama bulan Ramadhan. Harian Pelitamenggambarkan wajahnya yang putih berseri-seri dan selalu tersenyum riang itu mengajak seluruh bangsa ini menyambut bulan suci Ramadhan dengan hati ikhlas seraya menahan diri dan meningkatkan kesadaran berdasarkan contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad.
Ceramah keagamaan baik di layar televisi maupun corong RRI atau secara langsung di Mesjid Agung Al-Azhar yang selalu mendapatkan sambutan dan rasa simpati yang sangat besar itu tidak kita saksikan lagi. Harian Kompas menggambarkan, suasana duka kepergian beliau cepat tersebar ke berbagai kota. Di Banda Aceh begitu mendengar Buya Hamka meninggal dunia langsung menghentikan pengajian. Para jemaahnya spontan memanjatkan doa melepas kepergian almarhum, lalu mereka terlibat dalam berbagai kenangan mengenai Buya Hamka.
Di Padang, berita wafatnya ulama terkemuka itu diterima dengan terkejut. Secara beranting, kabar tersebut cepat tersebar, bahkan sampai ke berbagai kota lain di Sumatera barat seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan Padang Panjang di mana Hamka bersekolah semasa kecil.
Hari ini, bulan Juli 2012, umat Islam Indonesia sedang menjalani ibadah puasa. Tanggal 24 Juli 1981, saat Hamka meninggalkan alam fana ini, umat Islam Indonesia juga sedang berpuasa. Bulan baik. Hamka meninggal dunia setelah dirawat sejak 18 Juli 1981 di RS Pertamina, Jakarta. Beliau menderita sakit jantung, radang paru-paru dan gangguan pembuluh darah. Akhirnya sastrawan dan ulama besar itu meninggal dunia pada hari Jumat, hari baik, pukul 10.40 WIB setelah mencapai usia 73 tahun lebih.
Untuk menggambarkan suasana waktu itu, saya mencoba mencuplik keseluruhan tulisan O’Galelano, yang saya anggap sangat menarik di Harian Pelita. Hingga hari ini saya tidak tahu siapakah O’Galelano, apakah itu nama samarannya atau nama sebenarnya. Yang jelas tulisannya mampu menghanyutkan kita ke suasana tanggal 24 Juli 1981, suasana duka, di mana bolamata-bolamata penganggumnya, anak muridnya, teman, kerabat, memerah menahan kesedihan.
“Udara Jakarta, sudah dua hari menjelang Jumat, memang sesekali dibasahi oleh siraman sekejap dari renyai hujan. Awan gemawan sesekali menjulurkan tatapannya ke bawah dari lazuardi ibukota. Sebelumnya, jarang Jakarta disentuh oleh hujan. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama terkemuka, pujangga, sastrawan yang membuat pembacanya melinangkan airmata kala mereka menyimak novel religiusnya, Profesor dan Dr., yang karyanya dibaca di dunia luas Islam, sudah masuk ICU RS Pertamina Jumat pagi 18 Juli. Udara Jakarta yang panas mendenyit ubun, sejak Rabu dan Kamis, sesekali disentuh basah hujan. Seolah komponen jagat raya ini melirik, ulama besar itu dalam persiapannya untuk perjalanan yang abadi.
Ketika warga kota terlebih muslimin-muslimah diberi berita pagi oleh koran bahwa Buya Hamka dalam keadaan kritis, mereka mendekap radio, untuk mendengarkan lebih lanjut kabar kesehatan beliau. Menjelang shalat Jumat kemarin, hujan tercurah di ibukota. Seolah hanya Jakarta yang dibasahi, karena benderang langit sekitar Jakarta tak berawan gelap. Jemaah Shalat Jumat di masjid mulai terisak tatkala panitia mengumumkan bahwa Buya Hamka, telah pergi tadi siang jam 10.30. Seluruh Jakarta, dalam jutaan doa umat Islam, agaknya telah menghunjam di belantara alam. Jumat kemarin masjid-mesjid Jakarta mengadakan shalat ghaib.
Bukan shalat ghaib yang ingin kita catat. Walaupun dalam duka yang merambat jutaan kalbu umat, hal itu memang penting. Namun bolamata-bolamata mereka yang shalat ghaib, yang meneteskan air mata dan isak ketika menyeru Allah. Mereka tergoyah tubuhnya oleh isak dalam shalat. Doa mereka adalah doa yang diajukan dengan derai air mata: Ya, Rabbi, terimalah pemimpin, guru, imam dan ayah kami ini di sisiMu. Di rumahnya yang baru dibenah, dengan warna putih yang dominan suara dan tangis yang emosional hadir di mana-mana. Rusydi, puteranya yang tertua, yang telah lama dipersiapkan untuk melanjutkan penanya, berkata jelas, walaupun kesedihan menamparnya dahsyat: “Lanjutkan silaturrahmi ayah kami, kepada kami putera-puterinya di rumah ini. Kita yang berkumpul di sini adalah sahabat ayah, murid ayah, para menteri dan ulama, anak-anak rohani ayah kami.” Begitu kata Rusydi, yang sekarang agaknya meresa sepi meneruskan Panji Mayarakat, yang dibina ayahnya itu.
Di tengah jenazah ulama besar itu di rumahnya di Jalan Fatah III No. 1, banyak bergemaratak ucap dan doa yang penuh emosi. Sampai-sampai suasana di rumah ini mirip bagaikan jenazah para pejuang Palestina. Orang berhimpitan, berdesakan. Yang menteri, yang ulama, yang pemuda, yang ibu, yang gadis. Seorang lelaki meronta berteriak karena dilarang mendekat jenazah. Dia berteriak dengan tangis agar kiranya diperkenankan melihat wajah Buya terakhir kali.
Di dalam Masjid Agung Al-Azhar saat jenazah akan disembahyangkan, tidak urung takbir dengan suasana hati syarat emosi masih mengumandang. Masing-masing orang agaknya ingin berarti di dekat jenazah orang yang disayanginya. Hamka memang, bapak rohani yang hilang dini. Dan orang terpana, syarat emosi.
Rasanya menyayat sembilu hati kita, melihat seorang gadis kecil yang terjepit di antara desakan orang melongokkan kepalanya dan mengarahkan matanya yang berlinang, dengan isak yang tertahan. Ketika iringan jenazah lewat rumahnya. Pemandangan yang membiaskan rupa lain dari gambar diri ulama terkemuka ini. Banyak orang yang ingin menyentuh jenazah Buya, dan dalam kerumunan, himpitan dan dempetan, hal seperti ini memang ikut membuat suasana duka meningkat kepada “semangat dan api rohani.”
Ketika para pengantar bergegas meninggalkan Pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan, di arah barat bayang Asar yang menepi. Udara dan langit di atas makam, kembali duka. Awan gelap mulai menjulurkan nestapa. Sesudah itu hujan menyiram bumi merah. Telah agak lama usia Buya Hamka tersita di ibukota ini. Di mimbar khotbah, di halaman buku, koran, majalah. Buya barangkali adalah warga ibukota yang selalu dengan putih hati berusaha menyapunya dengan nasihat yang mendinginkan.
Kalau saja gemawan dapat jelas berbisik pada kita, barangkali siraman hujan adalah pertanda, alangkah indahnya keberangkatan Buya. Di tahun, di bulan, di hari-hari yang penuh indah. Maka pantaslah kita bergembira, walaupun nestapa menindih kita, seperti kata pisah keluarga yang dibawakan Buya Malik Ahmad. Selama hayatnya Hamka memang adalah ekspresi keindahan.” |oleh: Dasman Djamaluddin/KCC|