
Oleh : James P. Pardede
Informasi tentang pentingnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja belum sepenuhnya merata sampai ke masyarakat. Sosialisasi lewat iklan di media elektronik, media massa dan media online rasanya belum cukup untuk menyentuh kesadaran masyarakat (terutama pekerja dan pengusaha) dalam menerapkan jaminan sosial bagi dirinya sendiri maupun bagi pekerja di beberapa perusahaan. Jika dilakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa perusahaan di Indonesia, khususnya di kota Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia pasti akan menemukan perusahaan yang “alpa” terhadap jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerjanya.
Ketika berbincang dengan salah seorang HRD sebuah perusahaan di Medan tentang jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja di perusahaan tempatnya bekerja, ia menolak memberi komentar. Di lain kesempatan HRD tersebut mulai buka-bukaan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja. Menurutnya, belakangan ini banyak perusahaan yang kucing-kucingan dengan Dinas Tenaga Kerja, Jamsostek dan Perpajakan. Di satu sisi, HRD telah mengajukan agar pekerja atau karyawan yang ada di perusahaan dilaporkan ke Disnaker dan Jamsostek untuk jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja. Hanya saja, perusahaan sering berkelit dan kurang terbuka dalam hal ini. Ada indikasi perusahaan ketakutan ketika Disnaker dan Jamsostek sudah mengetahui jumlah karyawan dan gaji karyawan akan berimbas ke masalah pajak penghasilan dan pajak perusahaan.
Padahal, kita semua tahu kalau karyawan adalah aset utama perusahaan yang menjadi perencana dan pelaku aktif dari setiap aktivitas perusahaan. Mereka mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status, latar belakang pendidikan, usia dan jenis kelamin yang heterogen yang dibawa ke dalam organisasi perusahaan. Karyawan bukan mesin, uang dan material yang sifatnya pasif dan dapat dikuasai serta diatur sepenuhnya dalam mendukung tercapainya tujuan perusahaan.
Beberapa perusahaan yang mengerti hal ini akan berupaya untuk menjaga aset tersebut dengan berbagai cara. Sistem imbalan dan penghargaan akan mempengaruhi kinerja (prestasi kerja) karyawannya. Perusahaan yang benar-benar sudah mengerti betul tentang pentingnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja akan melaporkan karyawannya secara berkala dan terbuka kepada instansi terkait.
Menurut UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur; bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam UU SJSN Bab III Pasal 5 ditegaskan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional adalah PT (Persero) Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Dalam paparan ini secara khusus akan mengupas tentang Jamsostek dan perannya dalam penyelenggaraan SJSN di Indonesia.
Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga meyakinkan tidak akan ada perubahan pola pengelolaan dana jaminan hari tua (JHT) kendati terjadi transformasi pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan sesuai UU BPJS yang baru dan telah disahkan oleh DPR RI pada 28 Oktober 2011 lalu.
Menurutnya, jika tidak ada peleburan BUMN jaminan sosial yang ada saat ini atau perpindahan pengelolaan ke BPJS lain, maka bisa dipastikan tidak akan ada perubahan. Sebagai operator, kita tetap siap melaksanakan aturan yang sudah disahkan pemerintah dan DPR.
Jamsostek atau jaminan sosial tenaga kerja adalah program pemerintah, untuk memberikan perlindungan dasar bagi tenaga kerja, menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia, dalam mengatasi risiko-risiko yang timbul di dalam hubungan kerja. Jamsostek memberi kepastian jaminan dan perlindungan terhadap risiko sosial-ekonomi, yang ditimbulkan kecelakaan kerja, cacat, sakit, hari tua dan meninggal dunia.
Dalam perspektif universal, hal-hal tersebut merupakan bagian dari komponen Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang ditetapkan PBB pada tahun 1948, dan konvensi International Labour Organization No. 102/1992. Di Indonesia, kepesertaan dalam program Jamsostek juga telah diwajibkan melalui Undang-Undang No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Sedangkan pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.14/ 1993, Keputusan Presiden No.22/ 1993 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1993.
Seperti dipaparkan diatas, dari sudut moral, nilai-nilai HAM, maupun landasan hukum, sudah sepatutnya para pekerja Indonesia menjadi peserta Jamsostek. Jumlah perusahaan yang mengikuti program Jamsostek di Sumatera Utara hanya sekitar 30-40 persen dari total 13.000 lebih perusahaan yang beroperasi.
Humas PT Jamsostek Wilayah I Sumut Sanco Manullang dalam sebuah kesempatan di Medan menegaskan, dari 13.000-an perusahaan yang ada di Sumut, hanya sekitar 6.000 perusahaan saja yang terdaftar mengikuti program Jamsostek. Jumlah tersebut cenderung sedikit dibandingkan dari jumlah perusahaan yang ada di Sumut. Perusahaan yang mengikuti program Jamsostek belum sesuai harapan, karena masih banyak dari perusahaan tersebut hanya mementingkan keuntungan daripada kesejahteraan karyawannya.
“Kita sangat mengharapkan perusahaan mau mendaftarkan pekerjanya masuk dalam program Jamsostek sebagaimana tertuang dalam UU, karena pekerja butuh jaminan kesehatan dan sebagainya. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, alangkah malangnya nasib tenaga kerja jika tidak memiliki jaminan,” tandasnya.
Sektor Formal dan Informal
Beberapa jenis pekerjaan yang memiliki risiko besar seharusnya memiliki jaminan sosial dan perlindungan. Teman-teman jurnalis di kota Medan masih banyak yang belum menjadi peserta Jamsostek. Tidak hanya jurnalis, pekerja lainnya seperti supir taksi, penarik becak atau pekerja di sektor otomotif yang rawan kecelakaan kerja seharusnya didaftarkan ke Jamsostek. Banyak keuntungan yang didapat ketika kita menjadi peserta Jamsostek.
Emir Sundoro, dr, SpOT dalam bukunya “Jaminan Sosial Solusi Bangsa Berdikari” mengatakan, setidaknya ada lima dimensi positif dari penyelenggaraan jaminan sosial. Pertama, pembangunan ideologi bangsa. Prinsip pelaksanaan program jaminan sosial adalah gotong royong. Jaminan sosial menciptakan kepedulian sosial dan mewujudkan keadilan sosial yang merupakan salah satu pilar Pancasila.
Kedua, membangun stabilitas politik bangsa. Jaminan sosial memiliki aspek politik, yakni pembentukan negara kesejahteraan yang merupakan keinginan politik dari negara. Penyelenggaraan jaminan sosial dapat menciptakan stabilitas politik dengan mencegah berbagai permasalahan yang ditimbulkan akibat hubungan dengan sektor pekerjaan.
Ketiga, membangun ekonomi bangsa karena terkait dengan redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib program jaminan sosial. Dana jaminan sosial yang terkumpul akan sangat besar dan bisa menjadi cadangan keuangan nasional (National Fund Reserve).
Keempat, membangun sosial budaya bangsa. Kegotong-royongan, kepedulian dan kesetiakawanan sosial serta solidaritas sosial merupakan akar budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Penyelenggaraan jaminan sosial menganut asas solidaritas sosial. Sehingga penyelenggaraan tersentral dimaksudkan untuk melancarkan subsidi silang. Dalam subsidi silang terjadi dua arah gotong royong: secara horizontal dan secara vertikal.
Kelima, membangun pertahanan dan keamanan bangsa. Salah satu dimensi pelaksanaan program jaminan sosial merupakan faktor pengikat berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karenanya tidak berlebihan bila jaminan sosial merupakan solusi bangsa agar mandiri dan berdikari. Karena, dengan adanya sistem jaminan sosial akan memberikan kepastian usaha, pembukaan lapangan kerja dan penyediaan dana cadangan nasional yang sangat besar.
Seperti dikemukakan di atas, masih banyak jumlah pekerja di Indonesia yang belum mengerti betul arti jaminan sosial, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Jumlah pekerja yang bergerak di sektor informal sangat banyak, bahkan jumlahnya lebih dari dua kali lipat pekerja formal. Apabila pekerja di sektor formal sekitar 32,5 juta orang maka pekerja di sektor informal ada sebanyak 75,3 juta orang.
Lebih dari 80% pekerja informal itu belum terlindungi dalam program jaminan sosial tenaga kerja, sementara pekerja di sektor formal sudah lumayan banyak. Pemerintah pun telah menerbitkan Permenaker No.24/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (LHK) yang mengatur perlindungan bagi pekerja di sektor informal.
Dengan sejumlah kondisi itu, seharusnya jumlah tenaga kerja informal semakin banyak mendapatkan perlindungan sosial, apalagi negara mendukung dengan peraturan pemerintah yang diterbitkan. Namun, jika dilihat pekerja di sektor formal menurut data Badan Pusat Statistik sampai akhir 2010 tercatat sekitar 32,5 juta orang, maka pekerja di sektor informal sebanyak 75,3 juta orang.
Menakertrans Muhaimin Iskandar beberapa waktu lalu menerbitkan kebijakan pemberian subsidi iuran program jamsostek bagi pekerja di sektor informal sebanyak 11.500 orang dengan total nilai bantuan Rp4,14 miliar yang dimulai sejak April 2011.
Subsidi iuran itu diberikan untuk tiga program jaminan, yakni jaminan kecelakaan kerja, kematian dan jaminan pelayanan kesehatan. Pekerja informal yang mendapat subsidi cukup membayar Rp15.000 dari Rp 60.000 per bulan untuk bisa menjadi peserta Jamsostek. Sisanya, Rp45.000 dibayarkan oleh pemerintah untuk jangka waktu delapan bulan dan setelah itu, pekerja informal diharapkan dapat membayar iuran secara mandiri untuk kepentingan diri sendiri.
Provinsi yang mendapat alokasi bantuan subsidi itu adalah Riau, Kepri, Sumsel, Lampung, Jabar, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sultra, Kalsel, Sulsel dan D.I. Yogyakarta dengan masing-masing daerah mendapat alokasi dana Rp 378 juta untuk 1.050 orang, kecuali D.I. Yogyakarta yang mendapat Rp 360 juta untuk 1.000 orang pekerja.
Kebijakan itu disambut baik kalangan pekerja informal, juga PT Jamsostek sebagai penyelenggara jaminan sosial. BUMN itu sudah lama mempersiapkan diri untuk meningkatkan kepesertaan dari sektor informal ini, hanya saja seringkali terkendala pada minat dan konsistensi pekerja informal.
Sosialisasi Berkesinambungan
Direktur Pelayanan PT Jamsostek Djoko Sungkono mengemukakan, tambahan manfaat bagi pelayanan kesehatan itu sebagai implementasi lanjut dari sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004. Ketentuan tersebut berlaku 1 Desember mendatang dan ditetapkan melalui Keputusan Direksi Nomor KEP/310/102011 tertanggal 31 Oktober 2011. Bentuk bantuan diberikan berupa pelayanan kesehatan di pusat pelayanan kesehatan dan rumah sakit yang bekerja sama dengan PT Jamsostek.
Jenis pemberian manfaat tambahan lainnya bagi tenaga kerja dan keluarga peserta program jamsostek adalah pemberian pelatihan keselaman dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja dan perusahaan. Selain itu, pemberian peralatan K3 kepada perusahaan jasa konstruksi dan pemberian bantuan uang pemakaman untuk keluarga yang meninggal, dan status masih aktif bekerja senilai Rp 2 juta. Bantuan uang pemakaman tidak berlaku bagi pekerja peserta sektor jasa konstruksi dan pekerja luar hubungan kerja atau informal.
Itu sebabnya, untuk pengembangan dan peningkatan peran Jamsostek dalam SJSN, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah masih banyaknya kendala dalam sistem jaminan sosial di Indonesia. Misalnya, dalam kasus pencanangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN sebenarnya sangat positif, karena akan dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, bukan hanya untuk pekerja di sektor formal. Pekerja informal, bahkan penganggur sekalipun bisa menikmatinya. Namun, aturan dan administrasi badan yang mengelola program tersebut masih belum jelas.
Jika pelaksanaan SJSN berpedoman pada sistem yang diterapkan di beberapa negara lain, seperti Thailand, pemerintah harus menyediakan dana yang besar. Di Thailand, untuk jaminan sosial masyarakat miskin, seperti petani dan pengangguran, iurannya disubsidi oleh pemerintah. Sedangkan di Indonesia, iuran jaminan sosial untuk pegawai negeri sipil saja tidak disubsidi pemerintah. Hal ini berbeda dengan pegawai swasta, di mana tanggungan perusahaan untuk Jamsostek justru lebih besar.
Dalam kondisi demikian, Jamsostek harus terus meningkatkan kerjasama operasi (KSO) dengan serikat pekerja. Di era reformasi, KSO ini diharapkan tidak lagi bersifat sentralistis, tapi lebih terdesentralisasi di tingkat pengurus daerah dan cabang, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan para pekerja yang bergabung dengan serikat pekerja.
Selain manfaat pokok dalam bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, peserta Jamsostek juga akan menikmati manfaat tambahan dari inovasi BUMN itu, untuk meningkatkan kesejahteraan peserta. BUMN ini perlu lebih intens untuk melakukan sosialisasi dan mengkomunikasikan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan jaminan sosial dalam bahasa rakyat, bahasa yang sangat sederhana dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
Sosialisasi dan komunikasi ini diharapkan dapat mengubah paradigma yang melekat di mindset masyarakat bahwa Jamsostek hanya untuk keperluan hari tua setelah pekerja tidak lagi bekerja di sebuah perusahaan, dan mungkin uang jaminan hari tua yang diterimanya tidak besar. Program Jamsostek bukan hanya mengurusi hari tua, atau jaminan kematian peserta tetapi juga melayani para peserta yang notabenenya adalah pekerja dengan berbagai kebutuhannya termasuk jaminan pemeliharaan kesehatan, pinjaman uang muka perumahan, bantuan beasiswa anak peserta dan juga pinjaman modal untuk pengembangan koperasi karyawan.
Meskipun belum seluruh pekerja menjadi peserta Jamsostek, ada kecenderungan menggembirakan bahwa dari hari ke hari, jumlah peserta Jamsostek semakin bertambah. Sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya Jamsostek harus terus dilakukan. Perusahaan yang melaporkan data upah kepada PT. Jamsostek haruslah valid, karena upah sangat berpengaruh terhadap kemanfaatan dan hak pekerja. Jangan sampai terjadi, perusahaan lalai memberikan data upah pekerja yang akurat. Karena, pada kenyataannya yang selalu disalahkan adalah PT. Jamsostek, karena dianggap “menyunat” jaminan yang menjadi haknya.
Selain upaya sosialisasi dan edukasi, komunikasi dengan masyarakat tentang arti pentingnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap pekerja harus dilakukan secara berkesinambungan. Disamping itu, perlu juga ada kemauan politik (political will) dari semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan penyelenggaraan Jaminan Sosial agar penyelenggaraan Jaminan Sosial dapat terselenggara secara optimal untuk kepentingan percepatan pembangunan kesejahteraan dan pada gilirannya dapat menjadi solusi bangsa Indonesia agar lebih sejahtera, mandiri dan berdikari.
* Penulis adalah kontributor SWATT Online di Medan, Sumatera Utara.