Penelitian Dr Carl Ungerer dari Australian Strategic Policy Institute dianggap angin lalu oleh Menkum Patrialis Akbar. Menurut Patrialis, penelitian itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Sekarang hasil wawancara itu faktanya bagaimana. Jangan kita percaya terhadap hasil wawancara, faktanya mana! Terorisme di mana-mana muncul, tidak ada itu,” kata Patrialis di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (19/5/2011).
Pemerintah sudah melakukan program deradikalisasi di penjara. Napi teroris di penjara diberi pemahaman tentang cinta kepada bangsa dan masyarakat.
“Bahwa pemboman itu bukanlah sesuatu yang jihad. Pemboman itu pembunuhan tindakan kriminial. Itu sudah kita sampaikan kok. Pokoknya dengan terus menerus dan dengan berbagai cara,” imbuhnya.
Namun, seandainya ada hal lain di luar upaya yang telah dilakukan, tentu itu di luar kemampuan manusia. “Jangankan dari dalam, dari luar saja banyak bermunculan. jadi jangan percaya, penelitian yang bersifat provokasi. Mana buktinya apa? Ada nggak? Gitu aja, jangan kita bikin pusing,” tuturnya.
Menurut Dr Carl Ungerer, sekelompok napi terorisme di Indonesia berniat menyerang target Barat begitu mereka bebas. Dia juga menyebutkan, ada sekitar 30 persen napi teroris yang paling berbahaya. Program deradikalisasi tidak mempan untuk mereka dan bahkan mereka masih berniat melakukan aksi teror. Dia melakukan riset dengan mewawancarai secara mendalam 33 terpidana terorisme di Indonesia.
Dalam wawancara dengan ABC, Rabu (18/5/2011), Ungerer mengatakan terpidana teroris di Indonesia terbagi dua. Sebagian besar adalah alumni Afghanistan atau daerah konflik seperti di Ambon.
“Kelompok ini kecil kemungkinan terlibat dalam pemboman membabi-buta seperti di Bali,” kata Ungerer.
Ungerer juga menyebutkan, terorisme sekarang tidak beroperasi di belakang organisasi besar seperti Jamaah Islamiyah, melainkan kelompok-kelompok kecil beranggotakan 2-3 orang. |dtc|