Masihkah Anda ingat ketika Jajaran Pengadilan Indonesia tersentak, dan dunia hukum pun ikut berduka, pada Selasa 21 Oktober 2008 lalu, tepatnya di ruang sidang nomor 306 lantai tiga Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Di mana terjadi keributan antarpengunjung sidang yang mengakibatkan tewasnya seorang pemuda bernama Stanley Mukua.
Stanley, pria berusia 29 tahun, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah ulu hatinya tertikam pataka (tiang bendera dalam ruang pengadilan). Tragedi ini terjadi saat digelarnya sidang perkara pembunuhan Manager Hotel Klasik, Didi Tontoh.
Pembunuhan di ruang pengadilan, menurut Hasril Hertanto, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI ini menjadi gambaran nyata merosotnya wibawa pengadilan di mata masyarakat. “Masyarakat sudah tidak melihat pengadilan sebagai sebuah lembaga yang sakral, dan wajib dihormati keberadaannya” ujar Hasril saat ditemui SWATT-Online di ruang kerjanya.
Di Indonesia, sejarah kelam pembunuhan di ruang sidang pengadilan telah terjadi sebanyak dua kali. Selain kasus pembunuhan Stanley, pada 29 September 2005, peristiwa serupa pernah terjadi di ruang sidang Pengadilan Agama Sidoarjo, Jawa Timur. Dua korban pun tewas tertusuk pisau sangkur oknum TNI.
Dua kasus pembunuhan di pengadilan, menyiratkan pertanyaan, Bagaimana kesigapan pengamanan internal pihak pengadilan dan kepolisian dalam mengamankan jalannya persidangan? Siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pembunuhan di ruang sidang pengadilan di Indonesia?.
Terkait dengan tindak kekerasan di peradilan, Hasril mengungkapkan, bentuk-bentuk kekerasan tersebut sebagai bentuk intimidasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan suatu kasus. “Hakim, pengacara, jaksa, korban, terdakwa, hingga saksi bisa terintimidasi akibat aksi-aksi kekerasan tersebut,” jelasnya.
Hasril menilai, aksi-aksi kekerasan ini indikasi menurunnya wibawa pengadilan. Pengadilan sebagai lembaga untuk memberikan rasa keadilan dan kebenaran, dinilai justru sering terjadi ketidakadilan. “Masalahnya ada di pengadilan sendiri sebagi sebuah institusi,” ucapnya.
Hasril menambahkan, selama ini pengadilan belum bisa memberikan image sebagai lembaga sakral, yang dihormati masyarakat sebagai tempat mengadu, mencari keadilan dan kebenaran. Malah, masyakarat sering mendapati aksi-aksi pemerasan, ketidakadilan, aksi-aksi kekerasan, atau hakim yang “bermain mata”.
Hasril juga menyayangkan, karena pengadilan malah menjadi ladang mencari uang. “Dengan kondisi seperti itu, bagaimana masyarakat mau memberikan rasa hormat kepada pengadilan?,” imbuh Hasril.
Pengamanan Pengadilan
Seringnya terjadi tindak kekerasan di ruang sidang tak lepas dari model pengamanan yang diberlakukan tim security di gedung peradilan. Karenanya, pengamanan di lingkungan pengadilan perlu dibenahi. Menurut Hasril, pihak pengadilan tidak pernah memberikan ruang khusus untuk masalah keamanan. “Pengadilan memang ruang umum, tetapi bukan berarti setiap orang bebas berkeliaran,” keluh Haril kepada Majalah SWATT.
Minimnya personil keamanan internal pengadilan, ditambah kemampuan yang minim, serta sarana pengamanan yang tidak menunjang, membuat masyarakat tidak menghormati sistem pengamanan pengadilan.
“Petugas keamanan di pengadilan tidak memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah. Misalkan, ada kerumunan massa. Pihak keamanannya harus bisa mengidentifikasi, apakah kondisi tersebut dapat berpotensi konflik,” tukas Hasril.
Hasril menengarai, saat ini banyak petugas keamanan internal pengadilan yang merangkap sebagai penguhubung dengan panitera, hakim, terdakwa dan lain sebagainya. “Sudah rahasia umum, bila petugas keamanan pengadilan bisa berubah wujud menjadi markus (makelar kasus-red),” paparnya.
Pantauan SWATT di lingkungan PN Jakarta Pusat, pasca terjadinya keributan dua kelompok di ruang sidang yang mengakibatkan tewasnya Stanley Mukau, memperlihatkan sistem pengamanannya sudah lebih ketat di banding sebelumnya. Pintu masuk menuju gedung pengadilan dipusatkan di satu titik, dekat area parkir PN Jakarta Pusat.
Pintu metal detector pun menghiasi pintu masuk tersebut, ditambah dengan dua orang personil berpakaian safari yang selalu menanyakan keperluan setiap orang yang masuk ke gedung PN Jakarta Pusat. Tas serta barang bawaan pengunjung juga turut diperiksa oleh petugas.
Humas PN Jakarta Pusat, Sugeng Riyono mengakui, bahwa ketatnya pengaman di PN Jakarta Pusat terkait dengan adanya insiden pembunuhan Stanley Mukau. “Metal detector tersebut dipasang seminggu setelah kasus pembunuhan Stanley,” ujar Sugeng yang ditemui disela-sela memimpin suatu persidangan di PN Jakarta Pusat.
Personil keamanan internal di PN Jakarta Pusat yang berjaga jumlahnya kurang lebih 10 orang setiap harinya. Semuanya tersebar di seluruh lingkungan PN Jakarta Pusat. “Ada yang menjaga di dalam dan ada yang diluar,” ujar Sugeng.
Kondisi ironis justru terlihat di salah satu ruang sidang di lantai tiga, saat Sugeng sedang memimpin persidangan. Saat itu, tidak terlihat satu pun petugas keamanan yang berjaga-jaga di dalam ruang sidang. Padahal saat itu ruang sidang penuh oleh pengunjung. “Anda bisa lihat saat ini, tidak ada petugasnya kan, tapi insya Allah berjalan dengan aman,” terangnya.
Sementara itu, Hasril tak sependapat dengan Sugeng. Menurutnya, petugas keamanan harus selalu ada di ruang persidangan. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya keributan. “Minimal, petugas keamanan tersebut menjaga keselematan para hakim yang memimpin jalannya persidangan,” jelasnya.
Selain itu, struktur bangunan gedung pengadilan Indonesia harusnya diubah, karena tidak memenuhi standar keamanan yang baik. Menurut Hasril, para hakim di Indonesia yang ingin menuju ke ruang persidangan harus masuk dari pintu yang sama dengan pengunjung sidang lainnya.
“Harus dihindari seminim mungkin kontak antara hakim dengan pengunjung sidang, baik itu masyarakat umum maupun para pengacara dan jaksa,” ucapnya.
Pantauan SWATT di PN Jakarta Pusat menunjukkan, saat keluar dari ruangan sidang, para hakim juga berjalan di lorong pengadilan di mana tempat bangku tunggu pengunjung sidang berada. Personil kepolisian yang jumlahnya dua hingga tiga orang, ditambah dua petugas keamanan terkesan tidak memadai untuk mengamankan hakim yang ingin menuju ruang sidang. Hasril sepakat dengan hal tersebut.
Idealnya, menurut Hasril, ada jalan khusus yang menghubungkan antara ruangan para hakim dengan ruang pengadilan. “Selain alasan keamanan, hal tersebut juga meminimalisir kontak langsung antara hakim dengan pengunjung sidang,” jelasnya.
Hasril mencontohkan, situasi pengadilan di Indonesia sangat berbeda dengan Malaysia. Di negeri jiran tersebut, masyarakat sangat menghormati ruang persidangan. Masyarakat yang menghadiri persidangan benar-benar tertib, bahkan mereka seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan.
Kondisi tersebut, menurut Hasril merupakan bentuk dari ketegasan aparat peradilan yang tegas dalam menerapkan peraturan. Hasril tidak mengetahui dengan pasti, mengapa hakim-hakim di Indonesia tidak bersikap tegas bila ada pengunjung sidang yang tidak tertib dan tenang dalam menjalani persidangan.
“Dalam Undang-undang Acara Pidana tahun 1981 ditegaskan, bahwa seorang hakim dapat memerintahkan pengunjung sidang yang tertib untuk keluar dari ruang sidang, bahkan memerintahkannya untuk ditahan,” jelasnya.
Sementara itu, Sugeng mengungkapkan situasi tersebut sudah terjadi sejak dulu. “Saya setuju saja bila harus ada perombakan struktur bangunan yang memenuhi standar keamanan di pengadilan, hanya saja dengan situasi sekarang pun menurut saya juga sudah cukup,” ujarnya.
Sugeng juga mengakui bahwa pengamanan khusus hanya diberikan dalam “persidang khusus”. Jika sebuah persidangan dirasa rawan, Ketua Pengadilan akan berkoordinasi dengan Kejaksaan untuk meminta pengamanan. Jaksa kemudian berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Biasanya yang bergerak adalah Polsek (Polisi Sektor) atau Polres (Polisi Resort).
Teknis pengamanannya, lanjut Sugeng, sepenuhnya menjadi wewenang kepolisian. Pasalnya, pihak pengadilan tak mengeluarkan biaya sepeser pun. “Biaya pengamanan ditanggung oleh kepolisian sendiri, pengadilan tidak memiliki anggaran khusus,” ungkapnya.
Dua kasus pembunuhan di ruang sidang pengadilan di Indonesia merupakan suatu pelajaran berharga bagi institusi pengadilan. Pembenahan manejerial di lingkungan peradilan Indonesia perlu dilakukan. Salah satunya dengan merubah struktur bangunan pengadilan di Indonesia dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) petugas Kamdal.
Terkait dengan kasus pembunuhan di pengadilan, Hasril mengatakan pihak yang paling bertanggungjawab adalah pihak pengadilan. Karenanya, pihak pengadilan harus melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Jika ada yang lalai menjalankan tugas terkait pengamanan, menurutnya layak untuk diberikan sanksi administratif sebagai efek jera kepada yang lain sehingga kejadian seperti itu tidak terulang lagi. (Heru Lianto/Saiful)