Gingseng Mabur membawa pengikutnya pun mabur menemui ajal. Kejadian ini terjadi di kedai gingseng milik Yuliasih warga Kota Semarang. Korban yang tewas sebanyak 14 orang setelah menenggak racikan maut yang dikenal dengan nama “Gingseng Mabur”.
Setelah mengonsumsi Gingseng Mabur, para korban mengalami mual-muntah (gangguan pencernaan) yang parah, pusing dan sakit kepala yang tak tertahankan, organ dalam tubuh serasa terbakar, pandangan kabur, bahkan mengalami kebutaan, serta kegagalan fungsi organ, dan akhirnya berujung pada kematian.
Fenomena ini menarik untuk dikaji dari perspektif sosial, tidak hanya karena banyaknya korban jiwa, tetapi juga karena kasus di Semarang ini bukanlah kasus yang pertama. Dan yang lebih ironis, hampir semua korban meninggal pasca mengkonsumsi miras berasal dari masyarakat kelas bawah, dan kebanyakan dari para korban merupakan tumpuan hidup keluarga mereka masing-masing.
Setelah polisi meneliti, kasus ramuan Gingseng Mabur ini tidak ada unsur gingsengnya. Bahkan minuman ini terbuat dari air matang, gula, vanili, telur, susu, suplemen (energy drink), MSG (penyedap rasa atau moto), serta cairan berkadar alkohol hingga 96%.
Harga miras oplosan memang relatif lebih murah, namun hasil yang diperoleh —teler maupun halusinasi— relatif sama. Tentunya kondisi tersebut sangat menarik minat para pecandu miras, khususnya yang berasal dari kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah.
Berbagai jenis dan merk miras, baik yang legal maupun ilegal, banyak beredar ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Angkanya pun cukup fantastis, yaitu mendekati 10 juta botol per tahun, dan sebanyak 4.800.000 merupakan barang selundupan.
Kecanduan miras oleh sebagian masyarakat, salah satunya karena miras telah dijadikan simbol minuman modern. Mabuk-mabukan telah menjadi gaya hidup (life style) sebagian masyarakat kita, dan bukan hanya masyarakat kota yang beranggapan demikian, tetapi juga sudah menyeruak jauh ke pelosok desa.
Pecandu miras dikategorikan sebagai penyakit masyarakat (sosial pathology). Sebagai penyakit sosial, para pecandu miras tersebut dapat mengakibatkan pengaruh negatif dalam kehidupan sosial masyarakat dalam berbagai bentuk. Bukan hanya memiliki dampak sosial yang perlu ditakutkan, tetapi juga berdampak bagi pribadi pecandu miras itu sendiri. Sebab, peminum alkohol berat sering mendapatkan kecelakaan karena hilangnya kesadaran diri, kehilangan produktivitas, terlibat kejahatan, mendapat gangguan kesehatan, hingga berujung maut.
Berbagai razia yang selama ini dilakukan oleh aparat keamanan dirasakan belum efektif, mengingat ringannya hukuman yang diterima para produsen maupun penyuplai miras tersebut. Bahkan, denda yang dikenakan kepada para pengusaha miras tersebut dirasakan masih sangat ringan.
Kesadaran masyarakat perlu dibangun kembali tentang berbagai efek negatif mengkonsumsi miras. Namun sepertinya, upaya untuk memerangi penyakit masyarakat ini tidak cukup dengan ajakan, kampanye maupun ceramah keagamaan.
Sejauh ini, sosialisasi tentang bahaya miras masih global dan bersifat sloganistis. Misalnya, “Miras itu Haram,” “Miras Merusak Jiwa dan Raga,” “Miras Musuh Agama,” “Miras penyakit masyarakat,” dan slogan-slogan sejenis lainnya. (saiful)
foto : polreskuningan.wordpress.com