
Surabaya – Karena prihatin atas maraknya kasus aborsi di kalangan remaja membuat Liana Christanty beralih profesi menjadi aktivis sosial. Wanita yang sebelumnya berprofesi sebagai pengusaha ini sekarang memiliki asrama bagi para wanita korban pelecehan seksual.
Wanita yang tinggal di kawasan Simpang Darmo Permai ini mengaku miris atas kenekatan para wanita yang tega membuang janinnya. Namun, ia pun tak memungkiri kejamnya dunia dan berbagai masalah ekonomi yang mampu mendorong siapapun berbuat tak manusiawi.
Untuk itulah, ia tergerak untuk mensosialisasikan bahwasanya janin yang terkandung dalam wanita hamil juga merupakan makhluk hidup. Jadi dosa bila kita pura-pura tak memperhatikan maraknya praktik aborsi di masyarakat.
” Janin memang tak nampak, tapi dia hidup,” kata Liana Christanty saat berbincang dengan detiksurabaya.com di Gramedia Expo, Kamis (1/12/2011).
Ia juga mengatakan tak habis pikir tentang temuan tulang-tulang bayi yang berada di Jakarta. Tulang-tulang tersebut nyatanya merupakan hasil praktik aborsi yang makin memasyarakat sementara pemerintah tak mampu berbuat lebih untuk mengatasi masalah penyebabnya.
Semenjak banyak terkuaknya kasus aborsi di tahun 1998 lalu, Liana memantapkan dirinya untuk berhenti menjadi pengusaha. Ia sendiri tentunya dengan tenaga dan dana yang terseok-seok mendirikan Yayasan Pondok Hayat. Asrama tersebut dimaksimalkan untuk memberikan pendidikan in-formal bagi kaum ibu dan calon ibu untuk pandai mengurus anak. Ia juga pernah membawa orang gila dalam keadaan hamil masuk ke dalam asramanya.
“Salah satunya adalah gelandangan yang sedang hamil. Saat itu ia bahkan tak tahu usia kandungan dan kapan akan melahirkan, padahal setelah kami periksa, usia kandungannya sudah tua,” terangnya.
Bukan hal mudah bagi Liana untuk mendidik kaum ibu yang tak memiliki background pendidikan yang standart. Ia bahkan mendapati salah satu anak didikannya (ibu gila) kabur dari asrama karena tak terbiasa hidup lama di suatu tempat.
Meski begitu, Liana tetap optimis menjalankan aktivitasnya membantu para wanita khususnya ibu-ibu yang kurang berpendidikan. Bahkan kini setelah 13 tahun berjuang, Liana pun mendapatkan anak didiknya bertambah. Tak hanya para ibu yang ia didik, anak-anak jalanan yang tinggal di perkampungan kumuh dekat rumahnya ia gandeng masuk dan ia perlakukan layaknya anak sendiri.
Liana memanfaatkan sebagian kantor suaminya (pengusaha) untuk memberikan pelajaran berbahasa dan bersikap kepada anak-anak didiknya. Salah satu anak angkatnya, Fajar ia sekolahkan hingga duduk di bangku SMP.
“Karena setiap anak berhak punya masa depan, termasuk juga anak jalanan,” terangnya.
Kini Liana memiliki 77 murid. Ia dibantu kerabatnya untuk menjadi pengajar tak tetap dan tanpa gaji untuk mendidik anak-anak jalanan dan wanita gelandangan.
Dengan berbagai macam keterbatasan, Liana teguh menjalankan profesi yang ia yakini menjadi takdirnya. Meski banyak juga anak didiknya yang kabur karena ingin kembali ke jalanan, Liana yakin suatu saat didikan singkatnya mampu memberikan sumbangsih untuk kehidupan sosial dan masyarakat. dtc