Protes anti pemerintah telah tersebar di seluruh Libya baik dari perbatasan dengan Mesir di timur maupun perbatasan dengan Tunisia di barat – ini membuktikan bahwa struktur rezim Muammar Qaddafi berada dalam ambang keruntuhan.
Sementara itu, Libya terus melarang masuknya wartawan asing ke bagian barat negara itu namun para wartawan tak kehilangan akal untuk meliput kerusuhan itu dengan menuju ke perbatasan timur karena bagian timur Libya sekarang ini di bawah kendali pengunjuk rasa dan milisi anti pemerintah sehingga banyak wartawan asing mampu masuk ke Libya.
Milisi pro-Gaddafi diberitakan kantor-kantor berita transnasional berkeliling di Tripoli dan menggunakan pengeras suara untuk memberi tahu warga agar tak keluar rumah. Pasukan keamanan dilaporkan meredam kerusuhan yang telah bergolak di beberapa bagian timur negeri itu. Tapi kota terbesar kedua, Benghazi, menurut laporan, tak bisa dipertahankan dan jatuh ke dalam kekuasaan pemrotes.
Stasiun TV negara, yang dipantau media internasional, menyatakan militer telah menyerbu tempat persembunyian para penyabot dan mendesak masyarakat agar mendukung pasukan keamanan.
Sementara itu, pemrotes menyerukan demonstrasi di Lapangan Hijau di pusat kota Tripoli dan di luar kediaman Gaddafi, tapi beredar kabar terjadi penindasan di berbagai permukiman.
Kaum muda yang berusaha berkumpul di jalan diberitakan dibubarkan secara paksa dan berlarian untuk mencari tempat berlindung dari terjangan peluru.
Gaddafi sendiri, yang keberadaannya tak diketahui –ada desas-desus ia telah pergi ke Venezuela, tampil sebentar di stasiun televisi negerinya, Senin malam.
Pemimpin yang berusia 68 tahun tersebut tampaknya telah kehilangan dukungan dari sebagian masyarakat, beberapa satuan militer dan diplomatnya sendiri, termasuk delegasi ke PBB. Wakil Duta Besar Libya di PBB Ibrahim Dabbashi dilaporkan menuduh pemimpin yang paling lama berkuasa di negara Arab itu melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri dalam krisis saat ini.
Saluran komunikasi di ibu kota Libya kelihatannya telah diputus. Beredar kabar penduduk tak bisa dihubungi melalui telepon dari luar negeri. Pendukung Gaddafi ditayangkan oleh TV negara berkumpul di Lapangan Hijau
Saya siap mati syahid
Pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, mengobarkan perang sipil. Kemarin, dalam pidatonya di televisi, penguasa berumur 68 tahun itu bersumpah tak akan pernah meninggalkan Libya. “Saya seorang pejuang, seorang revolusioner!” kata pemimpin yang berkuasa selama 41 tahun ini dengan mimik wajah emosional. “Saya bersedia mati syahid!”
Pidato pemimpin berwajah gahar ini disambut sukacita para pendukungnya di Tripoli. Pemimpin yang setia dengan pangkat kolonel ini mengaku belum sepenuhnya memakai kekuatan militer untuk memberangus para pengunjuk rasa. “Belum satu peluru pun ditembakkan,” katanya. “Kalau saya berkehendak, semua akan luluh-lantak!”
Pada akhir pidatonya, Qadhafi memerintahkan para pendukungnya membentuk laskar-laskar rakyat dan memakai pita hijau. “Kalian, lelaki dan perempuan, tinggalkan rumah kalian dan ramaikan jalanan,” ujarnya, seraya mewanti-wanti bahwa rakyat dan kaum revolusioner akan mengawal Libya. “Mulai besok, polisi akan ditarik. Pergilah dan perangi mereka!”
Bukan hanya itu. Mengutip sejumlah sumber, majalah Time mewartakan bahwa Qadhafi memerintahkan tentara meledakkan kilang-kilang minyak. “Pesannya jelas, dukung saya atau chaos!” kata sumber tersebut seperti dikutip Time. Masih menurut majalah itu, ada sekitar 5.000 tentara di belakang Qadhafi.
Empat-puluh dua tahun kekuasaannya terguncang hebat, dan di tengah kerusuhan yang melanda negerinya pemimpin Libya Moamar Gaddafi menggunakan kekerasan sehingga membuat posisinya malah tambah lemah dan kian terjepit.
Keretakan makin terkuak di dalam kabinet Gaddafi sejak Senin lalu, para pejabat pemerintah di dalam dan luar negeri meletakkan jabatan, dua pilot pesawat tempurnya membelot sementara pemrotes, yang ditindas, kian beringas di ibu kota negerinya, Tripoli. Pengutukan juga menerjang pemimpin yang paling lama berkuasa di negara Arab tersebut.
Sedikit demi sedikit Presiden Libya Muammar Ghaddafi ditinggalkan para pengikutnya. Salah satunya, duta besar senior yang dimiliki Libya mengumumkan pengunduran diri. Ia adalah Ihab al-Mismari yang bertugas sebagai duta besar Libya untuk Kanada. Pengunduran diri itu dilakukan tidak lain karena kebijakan Ghaddafi dalam menyikap aksi unjuk rasa yang berujung pada munculnya korban jiwa.
Ihab al-Mismari mengumumkan pengunduran dirinya pada Rabu (23/2) kemarin. Ia mengatakan, keputusannya itu karena upaya Ghaddafi yang memerintahkan kedutaannya untuk menyembunyikan dan mengecilkan pemberitaan terkait penanganan demonstrasi yang terjhadi di tanah airnya.
“Mereka telah membunuh teman-teman saya dimana saya dibesarkan, mereka telah membunuh saudara-saudara saya,” ujar al-Mismari.
Sebelumnya beberapa dubes Libya di beberapa negara telah mengundurkan diri, Dubes Libya untuk Indonesia, Duta besar Libya untuk India Ali al-Essawi, duta besar Libya di Cina, Hussein Sadiq al Musrati, juga mengundurkan diri. Wakil tetap Libya dalam Liga Arab juga turut serta.
Dua menteri di kabinet Ghaddafi juga telah mengundurkan diri. Mereka adalah Menteri Kehakiman Libya, Mustafa Abdul Jalil dan Menteri Dalam Negeri, Abdel Fatah Yunes.
Pemberian Sanksi
Kekerasan dalam menangani aksi unjuk rasa mendapatkan kecaman dari beberapa lembaga internasional, seperti Uni Afrika, Uni Eropa PBB, Organisasi Konferensi Islam dan Amerika Serikat (AS). Presiden AS Barack Obama mengatakan dalam pidatonya di televisi Rabu bahwa pertumpahan darah yang terjadi di Libya sebagai sesuatu yang “keterlaluan dan tidak dapat diterima”, karenanya harus segera dihentikan.
Amerika Serikat dan Uni Eropa tengah mencari jalan untuk memberikan sanksi kepada pemerintah Libya guna menekan Muammar Ghaddafi agar tidak menggunakan kekuatan militer dalam menghalau aksi unjuk rasa dan mencari kebebasan sipil yang lebih besar. Sekjen PBB Ban Ki-moon juga menyarankan “sepat dan transisi yang damai” di Libya.
Ia juga mengatakan, sanksi yang berat harus diberikan kepada pemerintah Libya. Badan Dunia telah mengumumkan bahwa akan mengeluarkan larangan terbang ke Libya sejak serangan udara oleh Angkata Udara Libya terhadap para demonstran yang diperkirakan menewaskan sekitar 1000 orang tersebut.
Aparat pemerintah telah kehilangan kekuasaan dia beberapa kota di Libya, terutama di bagian timur negara itu yang dikuasai para demonstran. Wilayah itu berdekatan dengan ibukota Libya, Tripoli| RFE/RL|Ade Mahendra|
Foto : RFE/RL