Tidak ada yang menyangka bahwa Endang Sri Subiyanti, nenek asal Perum Gedung Agung Tegalrejo, Jogja, tergolong pelaku kriminal kelas kakap. Hanya dalam waktu dua hari, nenek berusia 52 tahun itu menggelapkan 20 unit sepeda motor.
Lebih mengejutkan, uang penggelapan puluhan sepeda motor itu digunakan untuk clubing di tempat hiburan malam. Aktivitas tersebut dilakukan Endang karena merasa tidak lagi mendapat perhatian dari anak dan cucu. ”Mereka tidak mau tahu kehidupan ibunya yang sendiri. Mereka semua meninggalkan saya dan tidak peduli lagi,” katanya kemarin (4/3) saat diperiksa di Polsek Jetis.
Kapolsek Jetis AKP Lukman Cahyono menjelaskan bahwa dalam beraksi, Endang meminta tolong sopir taksi langganannya. Dia berdalih akan menyewakan sepeda motor-sepeda motor itu dengan tarif Rp 40.000 per hari.
Endang berjanji akan memberikan bagian kepada pemilik sepeda motor setiap sepuluh hari. ”Ternyata sepeda motor tersebut tidak disewakan, melainkan digadaikan,” jelas Lukman.
Sepuluh hari pertama Endang bisa memenuhi janji tersebut. Namun, pada sepuluh hari kedua, dia tidak bisa lagi membayar. Saat itulah, aksinya terungkap.
Yang dibuat repot adalah sopir taksi langgannya tadi, Djoko Sudarmojoseno. Lelaki berusia 57 tahun itulah yang terus menjadi sasaran pertanyaan para pemilik sepeda motor.
Di ujung kebingungannya, Djoko pun melapor ke polisi. Rabu malam lalu (3/3) polisi menangkap Endang, yang mengaku sebagai janda pensiunan Paspampres.
Berdasar pengakuan Endang, polisi berhasil menemukan 14 sepeda motor yang digadaikan di beberapa tempat. ”Ada yang digadaikan di Magelang, Bantul, dan Sleman,” kata Lukman.
Endang tidak mengelak. Dia mengakui melakukan itu sebagai protes kepada ketiga anaknya yang tidak lagi memperhatikan dirinya. ”Kepada siapa saya harus bercengkerama untuk melewati masa-masa tua saya,” kata Endang yang tak kuasa menahan tangis.
Merasa kesepian, Endang kemudian lari ke dunia malam. Dia sering menghabiskan waktu di kafe. ”Tapi, maaf, saya tidak minum minuman keras. Saya juga tidak melacurkan diri. Saya hanya merasa memiliki teman ketika berada di tempat-tempat seperti itu,” ujar Endang.
Namun, rupanya, langkah yang dipilih Endang bukannya membuat ketiga anaknya yang semua mengikuti suami menjadi bersimpati. Ketiga putrinya justru semakin jauh meninggalkan Endang.
Endang juga mengatakan bahwa sejak kecil dirinya merasa kurang bahagia. Saat berusia 15 tahun, dia dipaksa menikah dengan seseorang yang usianya sejajar dengan ayahnya.
Saat itu dia juga berstatus sebagai istri kedua. Pernikahan pertama dan terakhir itu membuahkan tiga anak. Sedangkan dari istri pertama, suaminya tidak dikaruniai keturunan. ”Kami hidup satu rumah hingga kini. Bahkan, sampai suami kami meninggal, kami juga hidup bersama dengan istri pertama suami saya,” kata Endang.
sumber: jawapos.co.id