
DETASEMEN Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap terduga teroris bernama Nuaim Baasyir, 39, di Joyontakan, Serengan, Solo, Selasa (14/5) petang. Nuaim yang merupakan keponakan Abubakar Baasyir itu diduga berperan sebagai pemasok senjata bagi teroris.
“Dia ini (Nuaim) termasuk memiliki peran dalam pembelian senjata bersama kelompok Abu Roban dan Wiliam Maksum,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, di Jakarta, kemarin.
Menurut Boy, penangkapan Nuaim merupakan pengembangan atas hasil pemeriksaan terhadap Wiliam Maksum yang ditangkap di Bandung, Jawa Barat, belum lama ini.
Menurut adik Nuaim, Muhammad Fauzi, penangkapan tersebut dilakukan personel Densus 88 yang mendatangi rumah Nuaim dengan mengendarai empat sepeda motor.
Nuaim ditangkap saat sedang bekerja di depan komputer.
Saat penangkapan, kata dia, di rumah itu hanya ada anak kandung Nuaim dan seorang anak tetangganya.
Fauzi tidak yakin adiknya terlibat dalam aksi teror. “Aktivitas Nuim adalah membantu mengerjakan skripsi mahasiswa semester akhir,” jelasnya.
Kemarin, tim identifikasi Polresta Surakarta didukung anggota Brimob Detasemen C Polda Jateng menggeledah rumah Nuaim di Jalan Kenong RT 3/RW 4, Serengan.
Penggeledahan tersebut juga disaksikan ketua RT setempat dan anggota tim pembela muslim (TPM), Ali Fahrudin. Selain itu, polisi juga memberikan surat penangkapan Nuaim oleh Densus 88 kepada pihak keluarganya.
Dalam penggeledahan itu, polisi menemukan sejumlah barang bukti antara lain sarung, senjata api jenis pistol, tujuh VCD tentang perjuangan Palestina, sejumlah buku dan majalah tentang jaringan terorisme.
Menurut Makmuri, 50, tetangga Nuaim, Nuaim tidak pernah bergaul dengan warga, tetapi jika bertemu dengan dirinya saling menyapa.
“Dia aslinya bukan warga sini. Dia menempati rumahnya di Joyontakan sekitar dua tahun ini. Dia memang jarang di rumah,“ turut Makmuri.
Sementara itu, Wakil Kepala Polri Komjen Nanan Sukarna mengatakan upaya deradikalisasi teroris masih menjadi tantangan berat. Polisi hanya melakukan upaya deradikalisasi selama tersangka teroris berada dalam tahanan polisi.
“Tapi, ketika divonis dan ditahan di LP, mereka melakukan brainwash atau cuci otak pada tahanan lain. Jadi begitu mereka selesai menjalani hukuman, mereka melakukan aksi teror lagi dengan pengikut baru,” papar Nanan.
Penyebabnya, kata dia, antara lain karena di LP tidak menyediakan sosiolog, psikolog, dan ulama untuk menyadarkan mereka. “Persoalan lainnya ialah siapa yang bertanggung jawab membina mereka ketika mereka keluar dari LP,” ucap Nanan.
Di sisi lain, Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung mengingatkan agar penangkapan terduga teroris jangan sampai melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Menurut Febri Kurniawan, aktivis LBH Bandar Lampung, penanganan para terduga teroris oleh Densus 88 harus tetap menghormati hukum dan HAM.
“Harus diingat bahwa para terduga teroris adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan dilindungi berdasarkan hukum,“ tegasnya. (mi/ant/sol)