Kongres Advokat Indonesia (KAI) meminta Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi jalannya sidang gugatan KAI melawan Ketua Mahkamah Agung (MA). Sebab, pada persidangan terakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Ketua Majelis Hakim Nirwana dinilai tidak lagi independen dalam memimpin sidang.
Rencananya, siang ini KAI akan melayangkan surat resmi tersebut ke kentor KY. “Dengan ini kami memohon dengan hormat KY dapat mengirimkan Tim Pemantau dalam proses persidangan perkara ini,” kata kuasa hukum KAI, Erman Umar saat berbincang dengan wartawan, Senin, (15/8/2011).
Dalam sidang terakhir hakim Nirwana, menolak saksi korban yang juga advokat baru yang tergabung di KAI dengan alasan saksi tersebut adalah bagian dari pemohon. Selain itu, saksi ahli Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, hakim menanyakan izin bersaksi dari kampus dimana dia mengajar. Padahal menurut Margarito Kamis, selama ini dia telah sering menjadi ahli di Pengadilan, baik di Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri tanpa perlu izin dari almamaternya.
“Kami nilai hakim cenderung tidak independen dan berpotensi diintervensi oleh pihak atasan Majelis Hakim tersebut. Sehingga Majelis Hakim ini potensial bertindak memihak kepada Tergugat Ketua MA,” ungkap Erman memberikan alasan.
KAI menggugat Ketua MA Harifin Andi Tumpa dan menuntut uang sebanyak Rp 50 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Dalam tuntutannya, KAI meminta membayar ganti kerugian kepada penggugat sebesar Rp50 miliar.
Gugatan ini diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KAI yang didaftarkan di PN Jakpus kemarin, Kamis (16/12). Para penggugat ini menilai perbuatan Harifin saat mengesahkan nota kesepahaman (MoU) antara KAI dan Peradi pada 24 Juni lalu telah keliru. Apalagi mengingat nama Peradi itu dikukuhkan dalam surat Ketua MA kepada Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia nomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010, yang berakibat penyumpahan advokat harus diajukan oleh Peradi. |dtc|