Ketika terjadi gelombang gerakan reformasi di Indonesia, bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali dari seluruh aspek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia.
Sebuah Acara Seminar bertemakan “Pancasila sebagai Pondasi dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” yang diselenggarakan oleh Paguyuban As Salam (PAS) pada hari Sabtu, 30 Juli 2011 di Wisma Perjalanan haji Indonesia Jakarta Pusat, memandang perlu kegiatan seminar tersebut sebagai sarana pendidikan dan pembinaan bagi masyarakat, guna lebih memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai pondasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi keutuhan NKRI.
Menurut H. Abdul Rasyid selaku Ketua Umum PAS dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa pasca reformasi, bangsa Indonesia sebagai bangsa harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang ambing di tengah-tengah masyarakat International. Dengan lain perkataan bangsa Indonesia harus memiliki nasionalisme dan rasa kebangsaan yang kuat dan kokoh. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia.
Hadir pula dalam seminar tersebut Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang diwakilkan oleh Ibu Isti Khoiriana Karim, SE, MAP. Selaku Kasubag Evaluasi dan Perencanaan pada Bagian Perencanaan, Sekretariat Ditjen Kesbangpol Kemendagri yang berharap banyak hasil dalam seminar tersebut untuk senantiasa berpedoman pada 4 (empat) pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana telah diwariskan oleh Bapak Pendiri Bangsa, yakni (1) Pancasila, (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4) Bhineka Tunggal Ika.
Turut hadir sebagai pembicara Ir. Bondan Gunawan yang juga mengatakan bahwa Pancasila adalah karya monumental anak bangsa Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Ia merupakan suatu konstruksi, yang dihasilkan melalui proses yang “menyejarah dan mengkultur”, dan bukan rumusan instan belaka. “Menyejarah”, karena konstruksi itu berbasis pada sejarah bangsa Indonesia.
Menurut mantan Mensesneg era Presiden Gus Dur ini, secara tegas berucap bahwa terdapat sejumlah penjelasan menyangkut eksistensi bangsa Indonesia “Mengkultur” dikarenakan konstruksi tersebut berbasis pada dialektika antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang plural dan nilai-nilai universal. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa kelima sila dalam Pancasila itu merupakan kristalisasi nilai. Di sana kita bias mengetahui siapa, mengapa dan bagaimana bangsa Indonesia harus hidup sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Pada kesempatan yang sama Imdadun Rahmat, MA. selaku Wakil Sekjen PBNU melihat bahwa NU menemukan titik temu antara keislaman dan keindonesiaan melalui Pancasila. Bagi NU, Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama. Sementara, islam adalah aqidah dan syari’ah yang meliputi hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia.
Pancasila mampu menjadi titik temu (nuqthatulliqa), bingkai bersama (common platform), consensus dasar serta paying ideology yang menaungi berbagai keragaman dan perbedaananak-anak bangsanya. Dengan payung Pancasila Indonesia yang besar dan beranekaragam bisa bersatu dan membangun hidup yang bermakna bersama-sama secara damai dan harmonis penuh toleransi bahkan secara pro-eksistence. Maka Pancasila merupakan “suatu consensus dasar yang menjadi syarat utama terwujudnya bangsa yang demokratis. Sebagai perekat kebinekaan, Pancasila tak bias digantikan karena bisa berarti menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). |SWATT online|