
Ibu Kota DKI Jakarta memang selalu menjadi daya tarik bagi warga dari berbagai daerah. Dan arus balik lebaran pun menjadi momentum warga untuk hijrah ke kota metropolitan ini.
Berdasarkan data Dinas dan Kependudukan Catatan Sipil Pemerintah Provisi DKI Jakarta, pasca lebaran 2014 ini tercatat ada sekitar 70 ribu pendatang baru yang datang ke Jakarta bersamaan arus balik lebaran.” Dihapusnya Operasi Yustisi Kependudukan sejak 2013, kesempatan bagi warga luar daerah untuk datang ke Jakarta semakin terbuka,” kata Kepala Dinas Pendudukan DKI Jakarta Purba Hutapea.
Purba mengutip data lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang menyebut sebanyak 3.616.774 atau 36,21 persen dari total penduduk Jakarta yang berjumlah 9.988.329 orang melakukan mudik lebaran. Sedangkan arus baliknya mencapai 3.685.274 jiwa. Dengan demikian ada kelebihan pendatang baru 68.500 orang atau 1,85 persen dari jumlah arus mudik.
Angka tersebut, menurut Purba, naik menjadi 25,5 persen atau 17.500 orang jika dibandikang pendatang pada tahun lalu, yang berjumlah 51 ribu orang. Masih berpegang pada hasil penelitian itu, sebagian besar pendatang baru – ini sekitar 60 persen – menyatakan akan menetap di Jakarta.
Sedangkan 20-25 persen akan pindah ke kota di sekitar Jakarta. Hanya 9 persen yang merasa ragu dan akan balik ke kampung halaman jika gagal mengadu nasib di Ibu Kota.”Karena kan mereka tinggal dengan saudara atau kerabat (sebanyak)99 persen yang merantau ke Jakarta itu karena ada kenalan,” ucap Purba.
Nah, yang menjadi persoalan adalah para pendatang yang mengadu nasib ke Jakarta tapi tidak memiliki tempat tinggal yang jelas. Para pendatang semacam ini, menurut Purba, bisa menimbulkan masalah sosial. Mereka ada yang jadi pengemis, “Pak Ogah”, pekerja seks, atau juru parkir liar.
“Mereka tinggal di pinggiran kali atau tanah kosong entah milik siapa. Ini yang menjadi masalah. Ketika diusir mereka minta ganti rugi atau uang kerahiman,” kata Purba.
Karena harus mencari uang untuk makan, para pendatang ini juga ada yang menjadi pedagang informal. Mereka mendatangi tempat-tempat keramaian, yang akhirnya menciptakan masalah lain di Ibu Kota. “Menutup jalan umum, perempatan, dan menciptakan kekumuhan, kotor, dan sebagainya,” jelas Purba.
Menurut Purba, sebagai Ibu Kota, Jakarta merupakan kota terbuka, dan milik seluruh warga Indonesia. Warga tak bisa dilarang mengadu nasib ke Jakarta, karena hal itu merupakan hak asasi manusia yang dilindungi konstitusi Pasal 28. Tapi tidak ada kebebasan tanpa batas. Purba menuturkan ada rambu-rambu, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, yang harus ditaati.
Karena itu pemerintah DKI Jakarta akan terus melakukan operasi ketertiban umum. Misalnya terhadap para pedagang kaki lima yang berdagang pada tempatnya. Mereka akan dirazia, bahkan bisa dipidana ringan. Sedangkan pengemis dan anak gelandangan akan dititipkan di panti sosial.”Lapak-lapak hunian juga digusur,”kata Purba.
Pemerintah Jakarta juga akan mendata pendatang baru melalui Operasi Bina Kependudukan (Binduk). Operasi ini akan dimulai pada H+14 Lebaran atau pekan ini dengan menggandeng RT dan RW. Purba mengingatkan, ada aturan kependudukan yang harus dipenuhi para pendatang baru tersebut. Bila tak dipenuhi dalam 14 hari, mereka bisa dikenai denda maksimal Rp 20 jutaatau kurungan paling lama 60 hari, sesuai Pertauran Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jendral Dwi Priyatno mendukung operasi yang dilakukan Pemprov Dki Jakarta itu. Alasannya, masalah sosial sering kali datang dari pendatang baru yang tidak memiliki bekas keterampilan yang cukup. Mereka akan jadi penganggur, yang bisa berdampak pada peningkatan kriminalitas di Jakarta.
Prinsipnya (orang) tidak dilarang datang (ke Jakarta) selama punya KTP Indonesia. Tapi, kalau dia misalnya menjadi tukang parkir, memalak, menjadi preman atau munculnya prostitusi, itu jadi sumber masalah,” kata Dwi.
Adapun pengamat perkotaaan Yayat Supriatna pesimistis Operasi Binduk Pemrov DKI Jakarta bakal efektif. Alasannya, yang menjadi peganggu bukan hanya pendatang baru.” Warga DKI Jakarta yang memiliki KTP juga tidak tertib, melanggar aturan,” katanya.
Yayat menilai persoalan ketertiban Jakarta semestinya tidak hanya diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Kependudukan Catatan Sipil. Tapi juga menjadi kepedulian warga Jakarta. Persoalan lain, Pemrov DKI Jakarta masih dianggap “hangat-hangat tahi ayam” dalam menegakkan aturan yang dibuat. Misalnya aturan dilarang merokok di tempat umum, serta larangan bagi pengemis yang tidak jalan. Alhasil, Jakarta tetap semrawut dan sulit ditertibkan sekalipun banyak aturan yang dibuat.
“Yayat memberi contoh negeri tetangga Singapura, yang tegas dalam menerapkan aturan dan sanksinya.” Semua warganya takut melanggar aturan bahkan para wisatawan yang datang mematuhi aturan di sana,” jelas Yayat sebagaimana dinukil Majalah Detik, Senin (11/07). (sol)