Beberapa saksi mata mengatakan kota pelabuhan itu diserang artileri berat sambil ribuan pasukan pro-Gaddafi menyerbu dari selatan, timur dan barat.
Pasukan pemerintah di Libya telah melancarkan serangan besar atas kota Misrata – yang dikuasai pemberontak, pada hari yang sama NATO bertekad untuk tetap melanjutkan operasi udara terhadap pemimpin Libya itu.
Beberapa saksi mata mengatakan kota pelabuhan itu diserang artileri berat sambil ribuan pasukan pro-Gaddafi menyerbu dari selatan, timur dan barat.
Sumber-sumber pemberontak dan dokter mengatakan penembakan di Misrata menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai lebih dari 25 lainnya.
Tindak kekerasan itu terjadi selagi para menteri pertahanan NATO yang bertemu di Brussels, bertekad untuk tetap melanjutkan serangan udara terhadap pasukan yang setia kepada pemimpin Libya Moammar Gaddafi.
Sekjen NATO Anders Fogh-Rasmussen mengatakan sekutu aliansi tersebut kini mempersiapkan Libya tanpa pemimpin otoriter itu. Rasmussen mengatakan mundurnya Gaddafi bukan lagi soal “apakah ia mundur” tetapi soal “kapan ia mundur”.
Sebuah pernyataan NATO mengatakan aliansi itu bertekad untuk memberi “semua bantuan yang dibutuhkan” dan “fleksibilitas operasional maksimal” untuk melanjutkan operasi militernya di Libya. Sekutu-sekutu NATO juga mengupayakan dukungan lebih luas dan kontribusi tambahan bagi upaya itu.
Sementara itu, Organisasi Migrasi Internasional (IOM) menyampaikan keprihatinan mendalam mengenai nasib ribuan pekerja migran yang terperangkap di Libya.
IOM mengatakan para migran di Libya mengalami kesulitan hidup bahkan sebelum konflik pecah. Organisasi itu mengatakan mereka menghadapi diskriminasi dan cenderung dieksploitasi oleh majikan-majikan mereka.
Sejak krisis terjadi, IOM mengatakan puluhan ribu migran yang terperangkap di Libya lebih rentan terhadap pelecahan daripada sebelumnya. Organisasi itu mengatakan banyak pekerja migran Afrika diserang karena mereka dicurigai menjadi mata-mata yang dibayar oleh Moammar Khadafi. Organisasi itu mengatakan banyak migran dibunuh dan ratusan bersembunyi.
Juru bicara IOM, Jemini Pandya, mengatakan organisasinya prihatin, khususnya dengan nasib komunitas besar pekerja migran yang kebanyakan warga Afrika dan Filipina yang ditampung di dua tempat di ibukota Tripoli.
“Sebagian migran tidak bekerja sejak awal krisis karena majikan mereka meninggalkan negeri itu. Karena tidak punya apa-apa untuk pulang, mereka tetap tinggal di Libya dengan harapan bisa mendapat bayaran dari majikan mereka atau mendapat pekerjaan lain. Lainnya ditinggal untuk menjaga tanah dan rumah-rumah majikan mereka. Namun, mereka tidak dibayar sejak Februari. Karena sistem perbankan tidak berfungsi, ini berarti pekerja-pekerja itu tidak bisa mendapat kiriman uang,” ujar Pandya.
Pandya mengatakan sebagian besar pekerja migran di Libya berasal dari negara-negara sub-Sahara Afrika, termasuk Ghana, Togo, Sudan, Nigeria, dan Kamerun. Ia mengatakan kebanyakan pekerja tidak terampil dan tidak punya izin kerja. Ia mengatakan status gelap itu membuat mereka mudah tertangkap dan dilecehkan.|SOL|