Praktisi hukum di Indonesia sebaiknya belajar dari Mesir yang mampu menghadirkan Husni Mubarak dalam sidang pengadilan. Meski mantan presiden Mesir itu sedang sakit. Artinya di sana tidak ada yang kebal hukum, termasuk mantan Kepala Negara.
Hal ini dilontarkan pengamat politik Timur Tengah, Suhaeri Misrawi, dalam diskusi ‘Pengadilan Hosni Mubarak, Pelajaran Bagi Indonesia’ di Rumah Perubahan, Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (9/8/2011).
“Pengadilan Mubarak, artinya tidak ada pemimpin yang imun (kebal-red). Dia dibawa ke pengadilan dengan kasur-kasurnya. Didakwa berlapis-lapis, membunuh 840 demonstran. Ancamannya hukuman mati atau seumur hidup,“ kata Suhaeri.
Di bidang ekonomi, rakyat Mesir juga menolak bantuan IMF. Penolakan tersebut sangat mengejutkan lantaran kaum muda revolusioner yang menggulingkan Mubarak kebanyakan lulusan dari universitas luar negeri di Eropa dan AS.
“Pasca revolusi memang ada keterlibatan asing. Dua bulan lalu IMF menyodorkan pinjaman tetapi ditolak. Mereka bilang ‘Kami sudah 30 tahun menjadi boneka Barat, tidak mau lagi menjadi boneka Barat’. Yang menolak adalah lulusan Amerika,“ tukas Suhaeri.
“Itu menunjukan, meski sekolah di Amerika tetapi hati tetap Mesir. Tidak seperti di sini. Baru dikasih beasiswa sudah….,“ ucap Suhaeri yang tidak melanjutkan ucapannya, namun hanya geleng-geleng kepala.
Menegaskan pernyataan Suhaeri, pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad menyatakan revolusi Mesir belajar dari kegagalan reformasi 1998 di Indonesia. Saat itu, Soeharto jatuh namun bebas dari pengadilan.
“Mesir belajar dari Reformasi 1998 yang dianggap gagal. Tidak ada rule of law, dalam hal penegakan hukum. Yang ada kontinuitas kekuasaan. Soeharto sudah mundur tetapi anak-anaknya masih ada, partainya masih ada. Mereka (Mesir) percaya, hukum akan melampaui politik,“ tegas Herdi. |dtc|