Sepakbola merupakan industri yang harus dikelola secara profesional. Di mana klub dikelola secara profesional dengan manajemen modern yang mengandalkan pendanaan sponsor, pemilik klub maupun saham. Namun di Indonesia, banyak klub sepakbola yang bergantung dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal penggunaan uang rakyat di APBD untuk klub sepakbola rentan terhadap penyalahgunaan dan korupsi. Hal ini menyebabkan kompetisi sepakbola Indonesia tidak profesional.
Demikian disampaikan Dosen Broadcasting Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Fajar Junaedi, SSos, MSi, di Kampus Terpadu UMY dalam diskusi terbatas ‘Politik dalam Sepakbola Indonesia’, Rabu (5/1).
Menurutnya, pengelolaan klub sepakbola secara profesional akan berimbas pada manajemen klub sepakbola. Di mana hal tersebut bukan hanya diarahkan untuk meraih prestasi di atas lapangan hijau. “Namun juga keuntungan ekonomi dari penjualan tiket, hak siar, sponsor serta penjualan pemain,” ujarnya. “Hal ini seperti yang sudah dilaksanakan di klub-klub sepakbola di berbagai negara.”
Dalam penuturannya, jika memang dari awal sebuah klub berlaga dalam kompetisi yang berlabel profesional, maka konsekuensinya adalah manajemen yang dijalankan juga harus profesional. “Bukan manajemen yang mengemis bantuan APBD,” tegasnya.
Terlebih penggunaan APBD rawan terhadap korupsi. Padahal sepakbola adalah fair play yang harus bersih dari korupsi. “Sungguh ironis jika terjadi korupsi uang rakyat dengan modus untuk mendanai sebuah tim berlaga sebagaimana yang terbukti secara hukum di Manado pertengahan tahun 2009,” kata Fajar Junaidi.
Walikota Manado Jimmy Rimba Rogi, sebagaimana dijelaskan Fajar, divonis lima tahun kurungan penjara akibat korupsi yang dilakukannya dengan modus mencairkan APBD untuk Persatuan Sepakbola Manado sebesar 8,5 milyar rupiah sepanjang tahun 2006-2007. Di solo, penyidik Unit Tipikor Poltabes Solo melakukan klarifikasi terhadaap mantan Kepala Bawasda Solo, Joko Darjata, dalam kasus bantuan APBD 2007 untuk Persis Solo yang ditengarai merugikan negara sebesar Rp 10 milyar.
Kedua kasus tersebut dinilai Fajar hanyalah puncak dari sebuah gunung es kasus hukum yang membelit sepak bola Indonesia. Selain itu, adanya mentalitas semu di tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), disebutnya sebagai erzats capitalism. Hal ini dilihat dari penyelenggaraan kompetisi pertandingan sepakbola yang diselenggarakan PSSI yaitu Liga Super Indonesia (LSI). Di mana kompetisi hanya bisa berjalan dengan sokongan pemerintah melalui gelontoran dana APBD dalam jumlah besar ke klub peserta liga.
“Konsekuensinya klub menjadi tidak memiliki semangat juang tinggi dalam mencari sponsor karena sudah merasa sudah ada sokongan dana dari pemerintah. Bandingkan dengan klub-klub yang berlaga di liga-liga Eropa dan juga Jepang. Secara mandiri membiayai kegiatan klub dalam mengarungi kompetisi,” tuturnya.
Fajar menilai mentalitas kapitalisme semu PSSI semakin kelihatan tatkala Liga Primer Indonesia (LPI) hadir dalam ranah sepakbola Indonesia. “Bukannya menjadikan LPI sebagai patner yang diajak bersaing secara kompetitif dalam merebut hati publik dan sponsor. PSSI justru menggunakan logika monopoli dengan menyebut LPI sebagai kompetisi ilegal,” ujarnya.
Fajar menambahkan, dengan mentalitas kapitalisme semu juga, PSSI melayangkan laporan ke polisi yang berisi tuntutan pemidanaan LPI. “Cita-cita LPI yang hendak melepaskan sepakbola Indonesia dari jeratan APBD seharusnya diapresiasi secara positif bukan dengan membunuh karakter kompetisi yang memiliki niatan mulia tersebut. Ini hanya membuat kompetisi sepakbola Indonesia menjadi tidak profesional,” tandasnya. (affan)
FOTO : ilustrasi – ANTARA/Andika Wahyu/10.