Yogyakarta – Ada tiga wilayah Indonesia yang berbatasan langsung di darat dengan negara tetangga yakni dengan Malaysia, Timor Leste dan Papua Nugini. Dari tiga negara tersebut, masalah perbatasan yang paling krusial adalah dengan Malaysia.
Oleh karena itu, Indonesia lebih fokus memperhatikan di wilayah Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di wilayah perbatasan, tersebut sedikitnya ada 10 obyek perbatasan yang bisa menimbulkan masalah genting.
Hal itu diungkapkan Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), Dr Syarifuddin dalam Workshop Nasional Pertahanan Kawasan Perbatasan RI di gedung Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Senin (1/11/2011).
“Dari tiga wilayah batas darat itu, perbatasan Indonesia dengan Malaysia yang paling krusial dan jadi perhatian utama,” ungkap Syarifuddin. Dia mengatakan masalah perbatasan di Kalimantan saat ini lebih banyak menjadi perhatian utama. Sebab di wilayah itu terdapat 10 obyek perbatasan baik di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur.
“Dulu ada insiden Ambalat, sekarang terakhir adalah soal patok-patok di Tanjung Datu dan Camar Bulan yang hilang, karena itu perbatasan Indonesia di Kalimantan sekarang jadi perhatian pemerintah,” katanya.
Syarifuddin mengakui, pasca Reformasi masalah perbatasan masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Beberapa fenomena yang tak pernah hilang di wilayah perbatasan adalah masalah keterbelakangan di berbagai bidang dan terisolasi. Saat ini, adanya Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) diharapkan masalah-masalah tersebut bisa diselesaikan dengan kerjasama lintas sektor.
“Lintas kementerian dan melibatkan 9 perguruan tinggi, kami harapkan bisa membantu menyelesaikan masalah di perbatasan,” katanya. Dia mencontohkan saat ini pihaknya bersama Kementerian Ristek melakukan berbagai kegiatan di Pulau Sebatik yang berdekatan dengan Ambalat. Hal ini dilakukan agar mampu memperjelas batas-batas dengan Malaysia.
“Selain itu juga bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat di sekitar Pulau Sebatik kepada pemerintah,” kata Syarifuddin. Sementara itu Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mewakili Menhan RI, Mayjen TNI Suwarno mengatakan saat ini paradigma mengenai perbatasan sudah berubah. Wilayah perbatasan bukan lagi bagian belakang namun beranda depan sebuah negara.
Masalah perbatasan kata Suwarno, tidak bisa lagi dikelola secara sektoral, tapi harus bersama-sama dengan yang lain. “Pendekatannya juga berubah bukan lagi pendekatan keamanan tapi kesejahteraan,” katanya.
Menurut dia, pemerintah saat ini juga sudah lebih memperhatikan kepada TNI yang bertugas di perbatasan-perbatasan. Beberapa hal yang dilakukan antara lain penambahan pos-pos, fasilitas seperti air bersih, listrik dan alat komunikasi. Selain itu, TNI bersama pemerintah daerah setempat membangun atau memasang patok sebagai batas pemilikan.
“Dari sisi kesejahteraan untuk anggota TNI yang bertuga di perbatasan juga harus berbeda atau ditingkatkan. Khusus untuk AU dan AL juga harus meningkatkan patroli keamanan laut dan udara yang dekat dengan berbatasan,” pungkas dia. |dtc|