
Belu – Semua kering kerontang. Kemarau benar-benar menghajar Atambua dan Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemarau membuat kehidupan warga yang sudah sulit menjadi semakin sulit.
Sepanjang jalan dari Kupang menuju Atambua dan Belu, dua wilayah yang memiliki perbatasan langsung dengan Republik Demokratik Timor Leste itu, tidak terlihat hehijauan. Semua pohon terlihat gersang, mengering.
Deretan pohon jati, pohon kayu manis dan pohon besar lainnya, termasuk juga tanaman pertanian, semuanya layu, daun-daunnya rontok. Yang tersisa hanya dahan dan ranting saja. Bahkan ilang-ilang pun mengering juga.
Dari jauh, pegunugan di sepanjang Pulau Timor, termasuk kawasan menuju Timor Loro Sae atau Timor Leste nampak jelas gundul. Suasana muram itu menyatu dengan rumah-rumah warga yang beratapkan ilalang ataupun daun lontar.
Kondisi menyedihkan itu terlihat jelas di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Rumah-rumah warga di sini sangat sederhana. Jangan berharap ada rumah gedong dengan tembok mencolok. Tempat tinggal warga itu masih dibuat secara tradisional dari kayu Bebak.
Kayu Bebak merupakan potongan batang pohon lontar atau pohon Siwalan yang sudah jadi untuk membuat rumah itu. Bentuk rumah pun hanya segi empat dengan sekat-sekat untuk kamar tidur dan ruang tamu.
Desa Silawa dihuni sekitar 3.325 orang atau 815 kepala keluarga yang mayoritas petani. Sayang, musim kemarau saat ini begitu panjang, sehingga petani Silawan dan daerah sekitarnya pun kesulitan mendapatkan air dan pupuk untuk bercocok tanam.
Kekeringan yang tiap tahun melanda wilayah NTT membuat petani sulit menanam produk unggulannya seperti pohon cendana, gaharu dan kayu putih. “Sekarang sudah sangat sulit ditanam dan ditemukan di sini, saya tidak tahu kalau di wilayah Timor Leste,” ujar salah seorang tokoh masyarakat Dusun Halimuti, Desa Silawan, Albery Seran.
Warga pun berharap hujan bisa segera datang. Kemarau panjang ini sudah sangat menyusahkan mereka. Warga kesulitan mencari air bersih. Bahkan untuk menyiram tanaman saja tidak bisa sehingga semua usaha pertanian gagal.
“Saat ini kita bisa dikatakan rawan pangan. Memang ada bantuan Raskin, setiap keluarga mendapatkan 2 kilogram, itu juga untuk dua bulan. Bayangkan kalau setiap KK punya 4-10 anggota keluarga?” ungkap Albery.
Sejumlah wartawan media massa Jakarta meliput kondisi perbatasan RI-Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) pada 21-24 September 2011 lalu. Kepala Desa Silawan Joseph Untung tidak menampik masyarakat yang dipimpinnya memang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan.
Selain kemarau panjang, warga pun mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan di desanya sehingga begitu banyak pengangguran. Sulitnya mendapatkan pekerjaan, lantas membuat banyak warga ingin bekerja di luar negeri. Yang terdekat tentu ke Timor Leste. Tapi pemerintah Timor Leste sendiri masih kesulitan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Bahkan pengangguran di Timor Leste juga sangat tinggi.
Dengan kondisi serba sulit itu, tidak sedikit kemudian warga perbatasan memilih jalan pintas yang melanggar hukum demi memenuhi kebutuhannya. Apalagi ada peluang di depan mata. Para warga Silawan banyak yang kemudian menjadi penyelundup ke Timor Leste. Salah satunya menyelundupkan bahan bakar minyak (BBM) dan bahan kebutuhan pokok.
Mereka memborong BBM subsidi seharga Rp 4.500 yang kemudian dijual dengan harga Rp 9-10 ribu ke negara tetangga itu.”Bagaimana lagi, di sini sudah tidak ada lapangan pekerjaan, banyak pengangguran. Harga BBM di sana (Timor Leste) tinggi, kalau dijual di sana hasilnya banyak, jadi banyak orang berpikir mau jadi penyelundup,” jelas Albery.
Komandan Korem 161/Wira Sakti selaku Komandan Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) Kolonel Infanteri Edison Napitupulu membenarkan kehidupan di perbatasan Timor Leste memang sangat memprihatinkan. Kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan mereka rendah.
“Ya menyelundupkan barang itulah yang dilakukan sebagian masyarakat di perbatasan kita dengan negara tetangga Timor Leste. Ini terjadi, disebabkan masyarakat kita di perbatasan hidupnya sangat memprihatinkan,” kata Edison.
Anehnya warga banyak yang tidak tahu bila penyelundupan merupakan pelanggaran hukum. Para personel penjaga perbatasan pun terus melakukan sosialisasi soal pelanggaran itu.
“Ini juga menjadi tugas kita untuk memberi tahu dan mensosialisasikan bahwa tindakan mereka ini salah dan melanggar, apalagi dengan cara melintas batas secara ilegal,” jelas Perwira Operasi Komando Taktis Satgas Pamtas RI-RDTL Letnan Satu Infanteri Ferry Perbawa.
Sejauh ini, karena masih sosialisasi, bila penyelundup tertangkap tidak dikenai sanksi keras. Biasanya kasus itu diselesaikan secara kompromi dengan aparat keamanan. Sayangnya hal ini justru membuat penyelundupan makin marak. Tanpa sanksi keras, banyak penyelundup yang tertangkap mengulang perbuatannya.
Kemiskinan, pendidikan rendah, juga menjadi lingkaran setan bagi tingkat kesehatan warga. Kesehatan masyarakat di wilayah perbatasan sangat buruk. Tenaga kesehatan juga sangat sedikit.Maka personel TNI di perbatasan, selain menangani masalah keamanan juga ikut menangani kesehatan. Di setiap kompi, ada prajurit kesehatan yang bertugas mengecek kesehatan para prajurit dan anggota masyarakat.
Saat memberikan bantuan kesehatan kepada masyarakat yang biasanya dilakukan sebulan sekali, personel TNI mendapatkan laporan warga yang meninggal ataupun yang terkena penyakit termasuk yang terkena HIV. Komandan Kompi Tempur III Satgas Pamtas RI-RDTL, Letnan Satu Infanteri SM Rori mengaku, selama 9 bulan bertugas di Desa Silawan, sudah ada 50 orang meninggal karena sejumlah penyakit. Menyedihkannya, 30 persen di antaranya meninggal akibat penularan HIV. “Itu positif HIV semua,” imbuhnya tanpa menyebutkan secara rinci jumlahnya.
Entah bagaimana masyarakat sekitar bisa tertular HIV. Namun perlu diketahui, Kawasan Belu, Atambua hingga Kupang merupakan kawasan wisata. Kedatangan wisatawan ini, tragisnya juga menimbulkan persoalan tersendiri. Ekonomi yang sulit membuat sejumlah orang mengambil jalan pintas dengan menjual layanan seks. Diduga inilah yang menyebabkan penularan HIV. |dtc|