Sekitar 1.000 petani menggeruk Istana Kepresidenan. Mereka meminta penggodokan RUU Pengadaan Tanah dihentikan. Mereka justru berharap, pemerintah menerapkan UU Agraria dengan semestinya.
Para petani itu berkumpul di depan Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (26/9/2011). Sebagian memakai kaus atau baju kampret hitam khas petani dan topi caping.
Selain berorasi, para demonstran juga menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan batapa tertindasnya para petani. Hal itu digambarkan dengan dua petani yang diseret oleh dua orang yang berperan sebagai pengusaha dan hakim.
Sementara itu, beberapa orang lainnya terlihat mengusung tandu yang yang menopang seorang anak kecil. Anak kecil berbaju putih itu terlihat memegang banyak uang.
Sebagai bentuk tuntutan, para petani itu juga mengangkat sebuah peti mati. Mereka terus berkeliling di sekitar depan Istana. Sementara itu teman-teman mereka yang lain terus menyerukan tuntutannya dan menyanyikan lagu perjuangan.
Para demonstran membawa berbagai macam poster dan spanduk. Beberapa spanduk dan poster bertuliskan ‘Stop Kekerasan pada Petani’, ‘Hentikan Perampasan Tanah, dan ‘Tolak RUU pengadaan Tanah’. Mereka melanjutkan aksinya di Bundaran HI.
Cuaca selama 2 jam berdemo di Istana Negara dan dalam perjalanan ke Bundaran HI begitu panas menyengat. Terik matahari terasa membakar kulit. Karena itu begitu tiba di Bundaran HI sekitar pukul 13.23 WIB, para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) inipun ramai-ramai membasuh muka dengan air kolam Bundaran HI.
Mereka berjejer di bibir kolam berbentuk bulat tersebut. Dengan berjongkok, para petani yang berasal dari berbagai daerah ini membasuh muka, tangan, dan kaki. Anak-anak yang diajak dalam demo pun juga ikut dibasahi mukanya dengan air oleh para orangtua mereka.
Rasa lelah pun sesaat hilang. Karenanya, mereka kembali bersemangat untuk mengikuti aksi menuntut dipenuhinya hak-hak petani atas tanah. Hak itu telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 atau 51 tahun yang lalu.
Salah seorang petani bernama Sakata mengatakan, tanah milik leluluhurnya di Kelurahan Cihajuang, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, sudah sejak lama dikuasai oleh Perum Perhutani. Dari tahun 1990, ia menggarap lahan tersebut dengan sistem sewa.
“Padahal tanah itu hak kami, tapi kami harus menyewa. Saya menyewa 4 kotak dan harus membayar dengan setengah kwintal hasil panen,” ujar Sakata.
Sakata terpaksa menyambi sebagai pekerja perkebunan di Kalimatan akibat tidak memiliki tanah. Karenanya, ia berharap pemerintah segera membaginan tanah perhutani itu kepada petani sesuai amanah undang-undang.
“Kami minta di hari tani nasional ini, pemerintah memberikan tanah itu kepada petani,” katanya. Hingga pukul 13.40 WIB, para petani itu masih melakukan aksi di bundaran HI. Aksi dama itu dijaga oleh puluhan polisi. Lalu lintas di bundaran sedikit tersendat, namun umumnya berjalan lancar. |dtc|