Beberapa waktu lalu, PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara memberitahukan kepada seluruh pelanggan PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara, bahwa PT PLN (Persero) Wilayah Suut kembali akan memberlakukan Uang Jaminan Langganan (UJL) sesuai dengan Surat Keputusan Direksi No.424.K/DIR/2013 Tanggal 31 Mei 2013 tentang Uang Jaminan Langganan (UJL). Oleh Karena itu, kepada seluruh pelanggan yang melakukan Penyambungan Baru (PB) dan Perubahan Daya (PD) Periode 01 Januari 2011 sampai dengan 30 Juni 2013, dimana pada periode tersebut tidak dikenakan UJL, maka kepada Pelanggan pada periode tersebut akan ditagihkan kembali UJL mulai dari Januari 2014 sampai dengan Desember 2014 dengan cara mencicil bersamaan dengan rekening listrik setiap bulannya.
Menanggapi pengumuman dan pemberitahuan PLN ini, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Komsumen (LAPK) Farid Wajdi, Sabtu (18/1) mengatakan bahwa PLN harus transparan terkait keberadaan Uang Jaminan Langganan (UJL), yang mereka pungut kepada pelanggan listrik konvensional atau pelanggan non voucher.
Karena, lanjut Farid, selama ini PT PLN tidak transparan terhadap keberadaan UJL pelanggan. Padahal UJL pelanggan merupakan uang konsumen PT PLN yang dititipkan kepada perusahaan. Atas ketidak transparanan itu, diduga ada konspirasi besar untuk menghilangkan hak-hak konsumen oleh manajemen PT PLN.
Adapun uang tersebut dipungut pihak PLN, sewaktu konsumen mendaftarkan diri sebagai pelanggan PLN. Sehingga jika dalam perjalanan pelanggan terlambat dalam melakukan pembayaran, uang tersebut dapat digunakan oleh PLN untuk mengatasi keterlambatan pembayaran para konsumennya.
“Tapi yang jadi pertanyaan sekaligus membuat kita heran adalah mengapa hanya telat satu hari saja sudah langsung diputus listriknya, padahal selama ini, pelanggan memiliki UJL setiap baru masuk mejadi pelanggan PLN. Besaran UJL yang diberikan setiap pelanggan kepada pihak PLN pertamakalinya, tergantung dari dayanya. Semakin besar daya listriknya, maka UJL-nya juga semakin besar pula. Jumlahnya bervariasi mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah,” paparnya.
Jika PLN adil kepada setiap pelanggannya, tandas Farid Wajdi maka tidak perlu langsung memutuskan atau menyegel MCB milik pelanggan. UJL tersebut bisa menggantikan sementara tunggakan rekening listriknya. UJL itu sifatnya seperti jaminan pelanggan. Untuk itu, apabila pelanggan telat membayar tagihan listriknya, maka bisa langsung diambil dari UJL nya.
Farid memberikan contoh, ada pelanggan A yang telat membayar tagihan listrik sebesar Rp 200 ribu dan dia memiliki UJL sebesar Rp 500 ribu, kan bisa langsung memotong UJL itu, ini malah langsung mencabut MCB-nya.
Adapun UJL yang diberikan pelanggan kepada pihak PLN, walaupun sudah berlangganan hingga 20 tahun, uang tersebut tidak hangus. Nantinya, jika seandainya pelanggan tersebut mau berhenti, pindah rumah atau tidak menjadi pelanggan lagi, uang jaminan langganan bisa dikembalikan.
“Sudah saatnya konsumen PT PLN mengetahui bahwa mereka memiliki uang jaminan di PT PLN, sehingga ke depan PT PLN tidak lagi semena-mena melakukan pemadaman kepada para konsumennya,” kata mantan Dekan FH UMSU ini.
Dalam norma hukum, tambahnya tidak dikenal peraturan berlaku mundur. Artinya, rentang waktu 2011 – 2013 tidak boleh ditagih lagi karena masa waktunya telah lewat (daluarsa). Jadi, kalo tetap ditagih berarti hal itu sama dengan pungutan liar. Konsumen berhak menolak, karena tidak ada diatur dalam kontrak sebelumnya. Apalagi yang menghapus UJL sebelimnya adalah PLN sendiri.
“Kebijakan plin plan PLN selain melanggar hukum juga menunjukkan tidak ada kepastian hukum dari PLN. Jadi PLN menyempurnakan ketidakbecusannnya dalam melayani pelanggan. Dalam melayani, PLN cuma modal kekuasaan, dan itu tergolong malpraktik pelayanan. Ombudsman RI wajib menegur dan meluruskan kekeliruan itu,” pungkasnya. | James P. Pardede