Kunduz, Afghanistan – Ketika Taliban memperjuangkan jalan mereka di desanya, seorang pria muda bernama Mohammed Noor melarikan diri dengan beberapa teman ke pegunungan di atas pasar ramai kota di Afghanistan utara. Sementara Taliban melakukan pembunuhan balasan , menghancurkan radio, menyita layang-layang anak-anak dan memaksa perempuan memakai burqa tertutup rapat, sedangkan Mohammed mencari makan kemana-mana, tawar-menawar dari penyelundup senjata, dan bergabung dengan perlawanan bersenjata.
“Kami tidak punya pilihan, perut saya selalu kosong,” jawabnya, seperti yang dilansir oleh politicsdaily.com.
Namun, suatu hari keberuntungannya berubah ketika sebuah pesawat Amerika terbang dan menjatuhkan ransum militer dan pakaian.
Kini ia mengendarai sebuah mobil pickup Ford Ranger dihiasi dengan lambang Polisi Nasional Afghanistan. Dia berubah menjadi seorang pria dengan seragam abu-biru rapi, mudah senyum, dan berkacamata hitam, dan memakai revolver di punggungnya. Bukan sesuatu yang dibesar-besarkan: Ia berusia 30 tahun dan telah memperjuangkan Taliban selama setengah hidupnya.
Truknya, seperti puluhan lainnya yang diparkir di kompleks kepolisian Kunduz, dilengkapi gulungan palang beban berat, lampu sorot biru besar, sirene tumpukan senapan mesin. Mohammed mengendarainya ke pertempuran melawan Taliban bersama tujuh petugas polisi lainnya dan senjata yang dikemas ke dalam pickup, sebuah roket peluncur granat (Rusia RPG-7), terikat di belakang tempat duduknya.
Dengan sedikit bantuan dari koalisi internasional, polisi di Afghanistan telah membangun kekuatan keamanan yang dapat diandalkan, dengan para laki-laki terlatih dan peralatan yang layak. Saat ini, polisi Kunduz bekerja sebagai mitra penuh dengan infanteri dari Batalyon pertama, Infanteri ke-87, sebuah unit dari Divisi Gunung ke-10.
Polisi di Afghanistan utara bukanlah polisi lalu lintas atau aparat penegak hukum. Mereka adalah prajurit tempur dan menyebut diri mereka prajurit, saat komandan mereka, Jenderal M. Razzaq Yaqubi, di garis terdepan dalam pertempuran dengan Taliban. Mereka telah melihat beberapa pertempuran serius di sini akhir-akhir ini, dan, bersama-sama dengan 1-87, telah berhasil mengalahkan musuh.
Tetapi ketika pasukan AS dan sekutu mulai menarik diri – dan itu kemungkinan penarikan mundur dimulai di Afghanistan utara – keamanan akan berada di tangan orang-orang seperti Mohammed Noor.
Begitu banyak yang telah ditulis tentang korupsi kecil-kecilan di antara polisi Afghanistan yang kurang bayaran.
Lalu bagaimana Mohammed Noor apakah ia senang dengan gajinya? “Oh, tidak apa-apa, untuk pekerjaan yang kita lakukan, tentu saja, itu tidak cukup. Tapi itu sudah cukup bagi saya untuk menghidupi keluarga saya,” katanya.
“Saya melakukan ini untuk anak-anak saya, untuk pemerintah saya, untuk negara saya,” ujarnya. “Saya bisa melakukan banyak hal lainnya. Tapi kami mengajukan diri untuk melakukan ini. Kami tidak akan membiarkan Taliban mengambil alih tempat ini,” lanjutnya.
Lantas mengapa orang-orang di sini berjuang bersama Taliban?”Orang-orang yang takut, mereka harus bekerja sama dengan Taliban, jika tidak mereka akan dibunuh. Tidak seorang pun menginginkan Taliban tetapi mereka takut dibunuh.” ” ujarnya, sambil menyipitkan mata karena teriknya matahari.
Namun ketika salah seorang koresponden politicsdaily.com, David Wood, menanyakan pertanyaan terakhir, di mana keenam anaknya? “Di tempat yang aman,” jawabnya dengan singkat (evy)
foto : www.politicsdaily.com