Polres Aceh Utara menetapkan empat tersangka dalam kasus tewasnya Tgk Ilyas alias Nek Liyah (67) di Desa Geureghek, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara, Minggu (20/2) malam, akibat dipukul dan dibakar ramai-ramai di halaman meunasah desa tersebut.
Kempat tersangka yang diduga ikut mengeksekusi Nek Liyah adalah M Amin, Adnan alias Saiful, dan Zulkarnaini. Seorang lagi yang namanya masih dirahasiakan polisi, berhasil melarikan diri (buron). Dengan demikian, saat ini hanya tiga tersangka yang sudah ditahan di Mapolres Aceh Utara sejak Senin (22/2) pukul 22.00 WIB.
Kapolres Aceh Utara, AKBP Farid BE melalui Wakapolres Kompol Sigit Ali Ismanto, Selasa kemarin menyebutkan, selain menahan tiga tersangka, pihaknya juga terus menguber satu tersangka lagi. “Dia ini pelaku utama, tapi masih buron. Kita terus selidiki kasus ini secara mendalam,” ujar Kompol Sigit.
Ia tambahkan, M Amin, Adnan, dan Zulkarnaini patut diduga terlibat dalam pembunuhan Nek Liyah. Ketiganya dijerat dengan Pasal 351, 354, 170, dan 556 KUHPidana tentang penghilangan nyawa orang secara melawan hak.
Hukuman minimal untuk pasal-pasal ini adalah tujuh tahun, maksimal sepuluh tahun penjara. Sehari sebelumnya, ketiga tersangka diperiksa sebagai saksi bersama empat saksi lainnya. “Tapi, setelah cukup bukti, kita tingkatkan status mereka menjadi tersangka. Kita juga sudah memintai keterangan dari empat warga lainnya, selain ketiga tersangka,” ujar Wakapolres.
Melanggar HAM
Sementara itu, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Rahmat Hidayat SH menyebutkan, amuk massa yang menyebabkan terbunuhnya orang, merupakan tindakan pelanggaran HAM.
“Semua warga negara memiliki hak hidup. Jika pun Nek Liyah itu bersalah, pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya haruslah mengikuti prosedur yang berlaku. Tidak langsung main hakim sendiri dengan menghilangkan nyawa orang lain. Itu jelas tindakan melanggar HAM,” sebut Rahmat.
Dia meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus ini, sehingga tidak lagi ada aksi serupa di kemudian hari di Aceh, khususnya di wilayah hukum Aceh Utara. “Masyarakat harus taat dan sadar hukum. Semua persoalan harus diselesaikan melalui proses hukum. Jika pun seseorang bersalah, maka pengadilanlah yang menyatakan orang itu bersalah dan divonis sesuai kaidah hukum yang ada,” jelas Rahmat.
Dia berharap, Pemkab Aceh Utara melanjutkan sosialisasi hukum kepada masyarakat, terutama untuk mencegah terulangnya kembali aksi main hakim sendiri.
Ia juga mengingatkan bahwa kasus santet tidak bisa dibuktikan dan dalam sistem hukum Indonesia istilah santet tidak dikenal, karena sangat sulit pembuktiannya, baik secara formil maupun materiil. “Dalam sistem hukum pidana kita, tidak dikenal yang namanya santet. Jadi, untuk itu, harap masyarakat tidak anarkis jika berhadapan dengan kasus-kasus yang berbau santet, mistik, dan sejenisnya,” pungkas Rahmat.
Sebagaiman diberitakan sebelumnya, Ilyas alias Nek Liyah dibunuh dalam aksi massa di Desa Geureghek, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, Minggu malam, sekitar pukul 21.00 WIB. Ia dituduh memiliki ilmu hitam alias ilmu santet dan didramatisir seolah-olah baru saja menggali kubur seorang warga yang meninggal siang.
Padahal, menurut M Amin (40), warga Desa Geureghek sekaligus saudara almarhum M Yusuf (yang makamnya digembar-gemborkan seolah digali Nek Liyah), ternyata malam itu Nek Liyah hanya kedapatan sedang menghitung tiang rumah M Yusuf.
Ketika ditegur, Liyah melawan. Dia bahkan mengejar dan menyabet M Amin dengan pisau, sehingga jari tengah korban terluka. “Karena tangan terluka, saya minta tolong kepada warga,” cerita M Amin.
Masyarakat pun ramai-ramai melerai. Nek Liyah kemudian dibawa ke meunasah desa setempat. Di sanalah ia dipukuli dengan kayu dan batu. Setelah meregang nyawa, barulah tubuhnya disulut dengan api.
Sumber: http://aceh.tribunnews.com