
Calon Presiden Prabowo Subianto dituding sebagai penanggungjawab kasus penculikan 13 aktivis pro-demokrasi tahun 1998 saat dia menjabat Komandan Jenderal Kopassus.
Tudingan itu berawal ketika surat rekomendasi pemberhentian Prabowo oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP tersebar luas di dunia maya yang kemudian dikutip banyak media.
Surat DKP itu ditandatangani tujuh perwira tinggi TNI, yakni Jenderal TNI Subagyo H.S, Letjen TNI Djamari Chaniago, Letjen TNI Fachrul Razi, Letjen TNI S.B. Yudhoyono, Letjenl TNI Yusuf Kartanegara, Letjen TNI Agum Gumelar, dan Letjen TNI Arie J. Kumaat.
Lalu benarkah dalang 13 kasus penculikan pro – demokrasi itu adalah Prabowo Subianto? Atau itu hanya issue negatif yang sengaja dilontarkan lawan-lawan politiknya untuk mengganjal dia menjadi presiden di 2014, terlebih beberapa lembaga survei menyebut namanya mampu mengalahkan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Adalah kali pertama Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar yang membenarkan bahwa surat DKP terkait pemberhentian Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto, itu benar adanya. Dia pun bersumpah mengatasnamakan Tuhan.
“Rekomendasi itu benar adanya, sesuai surat itu. Saya tidak bisa bohongi rakyat, apalagi tuhan,” kata Agum, yang kini menjadi anggota tim sukses Jokowi – JK, dalam siaran langsung Primetime News Metro TV.
Dan diakui Agum, surat DKP tersebut “bersifat rahasia” yang merupakan rekomendasi kepada Pangab (Panglima ABRI/Panglima TNI) untuk mengambil tindakan.
Hal senada diungkapkan oleh Mantan Panglima ABRI (Pangab) Wiranto, yang kini juga menjadi anggota tim pemenangan nasional Jokowi-JK, membenarkan bahwa Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran. Dia pun mengatakan apa yang diungkapkannya tersebut merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan tentang siapa pelaku sebenarnya dalang peristiwa penculikan aktfis 1998.
Namun berbeda dengan Agum, Wiranto menyatakan surat DKP terkait pemecatan Prabowo Subianto bukanlah rahasia negara. Wiranto berdalih, karena kasus itu selain TNI ini juga menyangkut masyarakat sipil, sehingga TNI tidak bisa mengklaim bahwa itu rahasia TNI yang absolut.
Rahasia Negara.
Pernyataan Wiranto memang patut dicermati. Pasalnya, salah satu klausal dalam Keppres disebutkan memperhatikan surat Menteri Hamkam/Panglima ABRI Nomor R/811/P-03/15/38/Spers 18 November 1998. Di mana yang dimaksud kode “R” adalah “Rahasia”
Letjen TNI (Purn) Johanes Suryo Prabowo ketika diwawancara secara langsung oleh tvOne juga membenarkan bahwa surat tersebut adalah asli. Hal itu bisa dilihat dari ketikan dan gaya bahasanya. Tapi, kata Suryo, seharusnya ada hukum kooperatifnya. Karena surat seperti DKP itu lembaga Ad Hoc. Jadi, hanya muncul ketika ada vonis hukuman dari mahkamah militer.
Lebih lanjut Suryo mengatakan, surat seperti DKP seharusnya tidak lazim disebarluaskan meskipun itu asli. Dia pun justeru balik menuding bahwa yang menyebarkan surat itu ada dikubu Jokowi – JK, yakni Wiranto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI. Karena menurutnya, surat (DKP) itu disimpan paling banyak 3 orang, yakni Panglima ABRI Jendral Wiranto, Sekretaris Jamari Chaniago, dan Ketuanya Subagyo H.S.
“Yang jelas kalau pihak yang diperiksa (dalam hal ini Prabowo) tidak punya dong. Ini tidak diadministrasikan apalagi surat ini rahasia menyangkut pemeriksaan Letjen,” terangnya.
Namun kata Suryo, dengan adanya surat DKP ini jelas akan menguntungkan Prabowo. Karena di dalam isi surat DKP tersebut tidak menyebut adanya pelanggaran HAM; tidak menyebut Prabowo tersangkut kerusahan Trisakti; dan tidak ada penembakan kerusuhan Mei Trisakti. Karena di dalam isi surat itu yang ada hanyalah memerintahkan Satgas Mawar untuk melakukan penangkapan dan penahanan aktivis 9 orang.
Suryo juga menilai surat DKP itu aneh karena pada saat itu juga sedang berjalan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), yang dipimpin oleh Marzuki Darusman dan wakilnya Said Agil Sirad, serta anggotanya dari seluruh anggota LSM HAM dan Kementerian Polhukam.
“Pada waktu itu sedang bekerja. 3 bulan dia bekerja, yakni 23 Oktober 1998. Dia tidak mampu, dia tidak bisa menemukan adanya keterkaitan Prabowo dengan pelanggaran HAM. Lalu diserahkan ke pemerintah, kemudian pemerintah bekerja selama 1 tahun. Waktu itu Mensegnegnya Muladi. Setelah dia lihat, tidak ada pelanggran HAM.
“Sehingga dalam dokumen negara tertulis ditandatangani Mensesneg, Prabowo tidak terlibat pelanggaran apapun di Mei 1998. Jadi, harusnya sudah selesai. Dan lembaran negara ini sudah tercatat juga di luar negeri di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).”
Tak hanya itu, Agum dan Wiranto juga dinilainya iri terhadap Prabowo. Apalagi selama menjadi tentara dinilainya tidak pernah hebat daripada Prabowo.
“Dia jabat apapun tidak pernah hebat dari Prabowo. Sekarang di luar jadi pengusaha kalah kaya, jadi politikus kalah beken. Pilpres saja tahun 2004 kemarin cuma dapat 3 persen. Ikut pilkada DKI Jakarta masuk final saja kagak. Pilkada Gubernur di Jawa Barat juga kagak. Dan dia punya gelar Master dari American Work University , itu organisasinya dilarang oleh Depdikti tahun 2005,” bebernya.
Sementara itu Andi Arief, salah satu “korban penculikan Team Mawar tahun 1998” yang selamat mengungkapkan secara blak-blakan pendapatnya melalui akun facebook miliknya, Andi Arief Dua, Senin lalu.
Andi Arief, yang kini menjabat staf khusus Presiden bidang Kebencanaan, justeru menyebut nama Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Wiranto, dan Benny Moerdani dibalik semua peristiwa itu. Dan berikut kutipan lengkap yang ditulis staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana itu.
Saya harus mengatakan bahwa kader PRD Herman Hendrawan, Suyat, dan Wijhi Tukul memang sampai hari ini belum kembali. Bagi keluarga memang menyakitkan. Bagi perjuangan, setetes air matapun tidak ada rumus untuk keluar. Segala upaya digunakan mencari mereka. Tapi saya menolak merengek. Cara politik yang terhormat yang lebih baik ditempuh.
Penculikan adalah rentetan rejim diktator. Lumuran darah Beny Moerdani, Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Wiranto, adalah fakta. Tapi mereka tak menggakuinya, mereka lobi sana sini agar tak terkena HAM. Prabowo mengakuinya, meski belum ada kecocokan tentang data antara PRD dan Prabowo. Saya justru balik curiga bahwa ada yang tak ingin kasus ini selesai, dan ada yang tak ingin selain Prabowo tersentuh.
Bocornya surat DKP itu tentu meruikan Prabowo karena momennya pemilu, tapi Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Wijhi Tukul tak ada dalam daftar DKP itu. Pembocoran itu pisau mata dua, berupaya menghentikan pencarian 4 kader PRD sekaligus kampanye negatif buat Prabowo. Kalangan pendukung Jokowi terdiri dari mantan aktivis dan gabungan NGO-NGO, bersorak untuk kepentingan pemilu, mereka sama sekali tak ada hati, tak sensitif dan hanyut dalam suka cita semu. Motif kapitalisasi isu ini hanya untuk kepentingan Jokowi bukan untuk yang masih hilang.
Saya dan beberapa kawan yang hilang ingin menegaskan bahwa terhadap Prabowo, Tim Mawar dan beberapa tim resmi maupun tim ormas di bawah naungan ABRI : kami tidak pernah ada masalah pribadi, kami tidak mengenal mereka, kami tidak ada kasus hutang piutang, kami tidak pernah mengganggu keluarga mereka dan soal-soal pribadi lainnya.
Artinya, tidak ada celah sedikitpun urusan pribadi masuk sebagai alasan sehingga bertahun-tahun kejar-kejaran dari satu tempat ke tempat lain. Sampai kami tertangkap dan dikeluarkan, persoalan utamanya adalah kami memperjuangkan demokrasi dengan jalan mendorong massa bergerak bersama-sama berjuang dan posisi tim yang gonta-anti oleh ABRI dan Polisi sampai akhirnya Tim Mawar Kopasus adalah bagian dari kekuasaan yang menolak demokrasi dan bentuk perjuangan kami.
Prabowo tidak mungkin memiliki inisiatif pribadi. Saya yakin dia pasang badan untuk atasan dan institusinya, atasan terkuat yang memaksa Prabowo memilih mengakhiri kariernya. Akibat pasang badannya ini, yang membuat persoalan ini tak kunjung selesai.
Prabowo mengakui semua yang sudah dikeluarkan. Namun akibatnya jalan kami makin buntu untuk nasib 4 kawan kami. Wiranto tidak sungguh-sunggguh daalam kapasitas Pangab menyerahkan yang masih belum dilepas. Statemennya kemarin sebagai tim sukses Jokowi membuktikan bahwa memang masalah ini disimpan untuk sewaktu-waktu menjadi senjata untuk kepentingan Wiranto. Bukan untuk penyelesaian.
Prabowo dan Tim Mawar bukan penculik. Karena mereka bukan dari kesatuan liar, mereka organ resmi negara. Prabowo, dan Tim Mawar adalah unsur kesatuan negara yang bernasib baik menangkan saya dan kawan-kawan lainnya setelah sekian lama entak dari kesatuan apa selalu gagal menangkap kami. Saya dan kawan-kawan tertangkap oleh negara, BUKAN PENCULIKAN oleh kesatuan yang liar.
Meski Tim Mawar adalah tim yang resmi dan berhasil melakukan penangkapan, namun ada pertanyaan, pertanyaannya dimana Herman Hendrawan, Suyat, Bimo Petrus dan Widji Thukul? Pertama-tama kita bahas Herman Hendrawan yang berada di lokasi yang sama dan sempat berbicara dengan Faisol Reza, Faisol Reza kembali ke rumah orang tuanya. Inilah yang akan saya tanyakan : andai dia sudah wafat, apa motif melenyapkannya? Andai dia sudah dikeluarkan berbarengan denan Faisol Reza secara terpisah, untuk apa ia tidak segera pulang ke rumah.
Dugaan saya, dia sudah pindah tangan ke kesatuan lain. Bagaimana dengan Suyat? Masih misterius, di tangan siapa. Tetapi apa yang diketahui suyat, itulah yang ditanyakan saat saya diinterogasi. Dugaan saya, pertama dia masih di tangan entah kesatuan mana. Kedua, dia memang dalam keadaan luka agak parah, bisa saja perlakuan kekerasan saat interogasi dan sakitnya menyebabkan ia sudah tak ada. Dua kawan ini yang pasti gampang dijelaskan, karena tidak ada alasan kuat untuk mereka berdua untuk dilenyapkan kalau kawan-kawan yang lain ternyata dikeluarkan.
Saat sidang di Mahmil saya menolak bersaksi dan menawarkan barter. Keluarkan dua kawan saya dan saya akan meminta semua Tim Mawar dibebankan. Saya dan kawan-kawan terus menawarkan barter itu. Keselamatan kawan-kawan kami lebih penting. Hingga hari ini saya dan kawan-kawan belum berhasil menemukan. Nanti saya akan bercerita tentang Bimo Petrus dan Widji Thukul.
Malu DKP Bocor.
Sementara itu menyikapi permasalahan ini, mantan Panglima TNI Djoko Santoso menilai terlepas dari benar atau tidak surat itu dirinya merasa malu. Karena seharusnya, kata dia, tentara itu memegang rahasia tentara sekeras-kerasnya. Terlebih, beredarnya surat DKP tersebut hanya sekedar untuk kepentingan kelompok dan politik.
Dia juga merasa was-was apabila rahasia tentara itu dibocorkan akan sangat mengganggu stabilitas nasional yang ujung-ujungnya akan berdampak pada rakyat. Dan itu sangat berbahaya.
“Jadi saya himbau di sini, kita memang bersemangat untuk berdemokrasi tapi janganlah sampai kita terpecah belah karena demokrasi. Jangan juga merenggangkan persahabatan, jangan mengganggu kebersamaan dan kekeluargaan,” ujarnya.
Oleh karena itu Djoko meminta kepada semua elemen bangsa agar tunduk pada negara hukum, yang harus percaya kepada kontistusi dan percaya pada sistem. Apalagi Prabowo itu sudah diumumkan memenuhi syarat oleh KPU. “Ya sudah, itulah yang harus kita hormati. Itulah bagaimana kita mengawal Pilpres ini baik untuk semuanya. Jangan karena ingin menang melakukan hal-hal yang kurang baik,” tegasnya.
Selain itu dia juga menduga ada kemungkinan pihak ketiga yang mengadu domba dan ingin mengambil keuntungan di air keruh yang tidak menguntungkan bangsa Indonesia. “Maka itu saya sarankan diusut secara tuntas yang menyebarkan DKP tersebut,” terangnya.
Lalu apakah pihak ketiga yang dimaksud adalah perwira aktif? Djoko sendiri tidak menampik kemungkinan akses-akses perwira yang menjabat terhadap kerahasian tentara bisa saja ada.”Kalau adanya akses-akses perwira yang menjabat terhadap kerahasian tentara saya kira, ya mungkin saja,” ujarnya.
Oleh karenanya dia meminta kepada Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sekarang untuk memeriksa dugaan kebocoran rahasia TNI itu secara tuntas. Karena dia sendiri tidak mau menghakimi atau memvonis siapa yang harus bertanggung jawab.
Lalu dari pernyataan aktivis dan para Mantan Jendral itu kita pun bisa menilai: apakah tudingan itu bernuansa politis atau tidak. Apalagi sejumlah nama Purnawan Jendral seperti Wiranto, Fachrul Rozi, dan Subagyo HS kini berada dikubu Jokowi – JK.
Selain itu kita pun hendaknya berpikir secara cerdas, jika memang Prabowo bersalah kenapa ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri memilih menjadi pasangannya sebagai calon wakil presiden (Cawapres) pada Pilpres 2009 lalu, bahkan Megawati pernah mengatakan bahwa Prabowo adalah “korban” dan memiliki hak untuk membela diri meskipun akan melibatkan banyak pihak.
Dan kini patut dinanti apakah kampanye negatif yang menimpa Prabowo Subianto itu akan terus dilakukan lawan-lawan politiknya, yang pada akhirnya rakyat jenuh karena nilai-nilai demokrasi diabaikannya. | Heru Lianto