
Jakarta – Presiden International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) Sang-Hyun Song meluruskan berbagai kesalahpahaman terhadap lembaga yang dipimpinnya. Sang-Hyun menegaskan ICC adalah badan yudisial, bukan badan politik. Dia memastikan tidak ada politisasi di badan independen ini.
Penegasan Sang-Hyun ini disampaikan saat memberikan kesempatan kepada redaksi untuk melakukan wawancara khusus di sebuah ruangan di lantai 15 markas ICC, Jl Maanweg 174, Den Haag, Rabu (6/3/2013). redaksi mewawancarai Sang-Hyun, setelah pria berkacamata dan berpostur tinggi ini menerima Wamenkum HAM Denny Indrayana dan delegasi Indonesia.
Saat wawancara, Sang-Hyun – yang berasal dari Korea Selatan – didampingi Matias Kellman, konsultan eksternal ICC. Wawancara berlangsung sekitar 20 menit karena Sang-Hyun memiliki banyak agenda.
Ketika bertemu delegasi Indonesia, Sang-Hyun sudah menjelaskan lebih jauh mengenai ICC, termasuk meminta agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar ICC. Sang-Hyun meminta Indonesia tidak perlu khawatir dengan kejahatan kelam yang terjadi masa lalu. Menurut dia, ICC memiliki prosedur yang ketat bagaimana membawa kasus kejahatan yang menjadi fokus masyarakat internasional.
Saat ditemui redaksi, Sang-Hyun menyinggung hal ini kembali. Namun, Sang-Hyun memilih berkomentar hati-hati ketika disinggung mengenai kasus-kasus lama di Indonesia, seperti kasus penghilangan paksa 1998 dan kasus yang terjadi di Papua. Namun dia memastikan tidak ada politisasi maupun intervensi apa pun, termasuk dari Dewan Keamanan PBB, terkait hasil persidangan di ICC.
Berikut tanya jawab Sang-Hyun dengan redaksi selengkapnya:
Satu satu aspek yang mungkin membuat pemerintah Indonesia hingga saat ini melakukan ratifikasi adalah adanya kemungkinan politisasi badan ini oleh organ lain, seperti intervensi Dewan Keamanan dengan merekomendasi kasus-kasus tertentu untuk ditangani oleh Pengadilan. Salah satu isu yang penting adalah seperti kemungkinan ekspos terhadap kasus Papua melalui mekanisme ini. Bagaimana menurut Anda?
Saya tidak melihat bahaya ini. Ini tentu pandangan pribadi saya. Pada akhirnya ICC adalah badan yudisial. Kami di ICC harus tetap menjadi badan yudisial seratus persen dan bukan politik. Ketika institusi ini jadi institusi politik, kami akan mati, dan pada saat itu tidak ada alasan yang masuk akal bagi pengadilan (ICC) untuk tetap berdiri. Badan ini harus tetap menjadi badan yudisial dengan independensi yudisial yang maksimal dan dengan integritas yudisial yang maksimal. Tidak ada politik di sini. Dewan keamanan adalah badan politik, semua yang mereka diskusikan bersifat politik dan adalah perdebatan politik. Namun saya ingin menegaskan garis batasnya. Saya sudah sangat keras mempertahankan batas ini, kami juga sangat sadar akan bahaya dari pengaruh/intervensi politik ini. Secara konkrit, bahkan bila Dewan keamanan merujuk suatu situasi kepada ICC, jaksa-jaksa penuntut dapat setiap saat menolaknya.
Menurut Anda, adakah kemungkinan pengadilan dapat memiliki kewenangan mengadili kasus-kasus yang terkait dengan penghilangan paksa di Indonesia, seperti kasus 1998. Sebab berdasar beberapa rujukan dalam instrumen PBB lainnya, terdapat klausul yang mengatur bahwa kejahatan seperti penghilangan paksa merupakan kejahatan yang tidak memiliki kedaluwarsa dalam proses penuntutan hukumnya? Jadi apakah dengan menjadi negara pihak dari ICC, Indonesia dapat membawa kasus-kasus tersebut ke ICC?
Ini merupakan pertanyaan yang bersifat teknis hukum. Sebagai seorang hakim, meskipun saya juga adalah Presiden ICC, dan saya sebaiknya menarik diri untuk menyatakan pandangan saya atas pertanyaan-pertanyaan hukum yang sangat teknis seperti ini. Sebab, suatu saat pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja diajukan kepada saya. Anda tahu saya adalah Presiden ICC, tapi pada saat yang sama adalah hakim di tingkat banding, pengadilan tingkat tertinggi yang ada. Kalau saya menjawab saat ini, bagaimana jika kemudian kasus tersebut suatu saat akan benar-benar dibawa dalam pengadilan saya.
(Jawaban lebih tegas disampaikan Matias Kellman yang mendamping Sang-Hyun: seperti Presiden ICC sudah katakan pengadilan ICC hanya punya yurisdiksi terhadap pengadilan, dari waktu di mana suatu negara menjadi pihak dari konvensi tersebut. Jadi bila ada suatu kejahatan kemanusiaan terjadi sebelum suatu negara sebelum negara tersebut menjadi pihak dari ICC, memang kejahatan tersebut dapat dipidana, tapi bukan di ICC.)
Bagaimana terkait dengan fakta bahwa negara-negara Asia Pasific masih kurang terepresentasikan dalam ICC padahal region ini memiliki penduduk yang sangat banyak?
Sebagai presiden pertama dari ICC, sejak awal saya menaruh perhatian pada ratifikasi dari negara-negara di region saya sendiri. Sejak saya jadi presiden, ada 14 negara dari Asia Pasifik. �Dalam banyak hal, faktor utama di balik rendahnya representasi dari region ini adalah kurangnya kesadaran mengenai ICC dan tentunya salah pengertian. Dalam kasus-kasus tertentu, terkait hambatan bahasa. Saya sendiri sudah mempromosikan dengan keras agar lebih banyak negara bergabung dengan ICC. Saat ini, kita melihat beberapa negara telah bergabung, seperti Filipina, Bangladesh, Maldives, Vanuatu. Saya berharap Malaysia akan segera bergabung dengan kami. Indonesia tentu akan menjadi tambahan penting untuk keluarga besar ICC yang memiliki komitmen akan perdamaian,keamanan dan hak asasi manusia (HAM). Dalam hal Malaysia, berdasarkan sistem politik mereka, mereka tidak perlu menyerahkan draft RUU kepada parlemen untuk melakukan ratifikasi. Bila kabinet sudah menyetujui, hal itu merupakan proses akhir dari proses ratifikasi. Karena itu, terkait Malaysia, mereka telah menyelesaikan proses politik dit ingkat domestik untuk ratifikasi, yang belum dilakukan adalah teknis penyerahan deposit ratifikasi tersebut ke PBB.
Apakah banyaknya kasus yang berasal dari Afrika yang ditangani pengadilan terkait dengan representasi yang rendah dalam komposisi keanggotaan dari negara-negara di Asia Pasifik?
Tidak, tidak selalu. Benar bahwa terdapat lebih banyak orang yang mewakili Afrika, dibanding mereka yang berasal dari Asia di pengadilan. Jumlah staf dari Asia Pasifik sangat kecil. Kami memiliki target internal mengenai jumlah, tapi tidak berhasil memenuhinya, karena beberapa kemungkinan, seperti hambatan bahasa, ataupun alasan-alasan perbedaan budaya. Saya pribadi mengalami kesulitan merekrut orang-orang berprofesi hukum dari Asia. Sebenarnya bahkan Anda tidak perlu jadi pengacara untuk bekerja di institusi ini, misalnya anda seorang ahli IT, anda memiliki tempat bekerja di sini. Tapi hanya sangat sedikit yang melamar. Saya rasa ini terkait dengan kurangnya kesadaran di masyarakat dan di negara mereka.
Amerika hingga sekarang tidak ikut meratifikasi ICC. Komentar Anda?
Sebenarnya saat ini ICC dan pemerintah Amerika juga cukup dekat, bekerja sama dalam hal-hal yang menjadi perhatian bersama. Bagaimana pun bila ingin Amerika meratifikasi, apa artinya ini dalam politik domestiknya. Ini artinya harus meyakinkan setidaknya 2/3 anggota senat ( yang terdiri dari 100 senator) untuk setuju dengan Anda. Untuk saat ini tentu hal ini bukan sesuatu yang mudah dalam realitas politik Amerika saat ini. Pemerintah Obama sekarang dijerat oleh berbagai persoalan penting seperti bujet dan lainnya, sehingga ratifikasi ICC kehilangan momentum dan prioritasnya. Namun masyarakat sipil di sana melakukan berbagai kegiatan terkait ICC karena melihat hal ini terkait juga dengan kurangnya kesadaran dari masyarakat Amerika sendiri. |dtc|