Wacana pensiun dini PNS muncul sebagai respons tersedotnya sebagian besar APBN untuk membayar pegawai. Berbagai instrumen dan kajian harus disiapkan sebelum pensiun dini ditawarkan pada PNS. Jangan sampai pensiun dini malah menambah angka pengangguran.
“Harus disiapkan perangkat sebelum pensiun dini ditawarkan. Jangan sampai mereka hanya memakai pesangon yang lantas habis dikonsumsi, sehingga malah menambah pengangguran. Selain itu harus diperhatikan pula jangan sampai yang sudah pensiun dini ini masih nempel-nempel. Misalnya ketika ada proyek pemberdayaan masyarakat di suatu kementerian, yang pensiun dini ini jadi kontraktornya. Sayangnya kontraktor ini hanya sekadar mencari proyek, jadi tetap saja tidak efektif,” tutur pengamat birokrasi, Irfan Ridwan Maksum.
Berikut ini wawancara detikcom dengan guru besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini, Selasa (28/6/2011):
Ada wacana pensiun dini bagi PNS. Menurut Anda ini bisa direalisasikan demi reformasi birokrasi?
Sebetulnya bisa, jika ada komitmen penuh dari presiden. Sebelum ke sana menurut saya, harus betul-betul dikaji masukan Tim Independen Reformasi, di mana jumlah PNS memang besar sehingga menyedot sekitar Rp 108 triliun APBN. Kalau menyedot uang sebanyak itu, sebenarnya yang ada sekarang bisa lebih dimanfaatkan sehingga bisa berjalan efektif.
Di sektor pendidikan dan polisi saya rasa masih kecil (jumlah PNS-nya). Ada pertimbangan ini, sehingga jangan buru-buru memangkas PNS dengan tawaran pensiun dini. Sebaiknya dikaji dulu beban di setiap sektor, mana yang banyak menganggur dan mana yang kosong. Orientasi kebijakan harus dipantau. Nah sekarang, apakah evaluasi sudah dilakukan?
Jika pensiun dini diambil harus dipikirkan kekurangan yang ada itu apakah bisa di-handle dengan analisis beban tugas, apakah beban sekarang mau dipindah ke mana, apakah ada redistribusi orang yang sekarang nggak pernah dilakukan?
Lebih banyak untung atau rugi jika pensiun dini ditawarkan?
Sebenarnya tidak semua lini kelebihan orang, karena ada lini juga yang kekurangan orang. Selama ini kan nggak pernah dilakukan redistribusi orang dari tempat yang gemuk ke tempat yang kurang.
Pensiun dini umumnya ditujukan ke orang yang sudah lama bekerja. Nah orang itu kan punya pengalaman banyak. Jadi bila orang-orang banyak pengalaman itu mengambil tawaran pensiun dini, menurut saya merugikan bagi lembaga juga. Buat saya sih sayang kalau yang punya banyak pengalaman malah keluar, padahal sudah dididik. Karena itu, sebelum opsi ini ditawarkan harus ada transfer knowledge yang memadai bagi orang-orang mudanya. Knowledge itu juga aset yang harus dipelihara agar tidak menguap. Kalau ini menyangkut knowledge, saya kira malah banyak ruginya dengan pensiun dini. Kecuali jika memang ada back up.
Saya belum pernah dengar pensiun buat orang-orang yang muda, tetapi tentu untuk yang senior. Padahal di dunia pendidikan, terutama, yang senior itu banyak dibutuhkan. Tapi saya nggak tahu kalau di birokrasi seperti apa. Di pemda banyak terjadi kasus orang yang sebelumnya menduduki kepala dinas diperpanjang tugasnya jadi staf ahli. Nah yang diperpanjang itu harus dievaluasi, karena yang lebih penting dilakukan adalah regenerasi dan transfer of knowledge.
Apa yang harus disiapkan jika pensiun dini ditawarkan?
Harus disiapkan perangkat sebelum pensiun dini ditawarkan. Jangan sampai mereka hanya memakai pesangon yang lantas habis dikonsumsi, sehingga malah menambah pengangguran. Selain itu harus diperhatikan pula jangan sampai yang sudah pensiun dini ini masih nempel-nempel. Misalnya ketika ada proyek pemberdayaan masyarakat di suatu kementerian, yang pensiun dini ini jadi kontraktornya. Sayangnya kontraktor ini hanya sekadar mencari proyek, jadi tetap saja tidak efektif
Apakah birokrasi yang gemuk ini biasa dialami di negara dengan jumlah penduduk besar sebagai upaya negara menciptakan lapangan kerja?
Memang perekrutan PNS untuk duduk dalam birokrasi merupakan salah satu lapangan kerja. Namun yang penting, gemuknya birokrasi ini dipolitisasi. Ini harus diantisipasi. Aturan main mengenai birokrasi harus jelas dan tegas. Netralitas birokrasi harus tegas. Sebenarnya kalau jumlahnya besar tapi politisasi rendah, masih rasional. Tapi kalau jumlah PNS besar dan digunakan untuk kepentingan politik, maka itu yang merisaukan karena melayani politik tertentu dan itu yang merusak.
Bagi saya, besar tetapi efektif, itu tidak masalah. Tidak harus slim, tapi yang proporsional saja.
Bukankah biasanya birokrasi gemuk tidak efektif?
Kendalanya di setiap lini tidak ada evaluasi mana yang gemuk tetapi beban kerja sedikit dan mana yang beban tugasnya banyak tetapi orangnya sedikit. Seharusnya beban tugas dan orangnya pas. Tim independen reformasi harus bisa menggambarkan potret yang sesungguhnya, jadi ada gambaran di mana yang banyak orang dan di mana yang sedikit orang. Kalau ada banyak orang tetapi sedikit beban tugas maka seolah birokrasi menghamburkan orang.
Apa masalah klasik yang ada dalam birokrasi kita?
Saya kira lambat dalam menghadapi perubahan karena hierarkis. Kalau nggak ada aturan nggak kerja. Lingkungan berubah begitu cepat dan orang-orang dalam birokrasi begitu saja tanpa perubahan. Terobosan politik memang dibutuhkan untuk mempercepat kerja. Sayangnya politiknya inklusif banget dan dimanfaatkan untuk kepentingannya. Politik mengatur birokrasi agar tidak lambat, tapi jangan dipolitisir.
Bagaimana dengan usulan agar penerimaan CPNS distop sementara?
Kita pernah melakukan sekitar 10-12 tahun lalu, di era Presiden Soeharto pernah dilakukan. Saya menyaksikan sebagai pemula PNS. Meski distop tapi ada saja sel-sel yang mempunyai kebutuhan tinggi, sehingga harus ada seleksi ketat.
Kalau saat itu, Pak Harto masih mengkaji ada redistribusi pegawai. Maka itu, pegawai pusat diputar, antar pemda diputar. Tapi sayangnya keburu ada reformasi. Ketika dia turun, kebijakan ini tidak diteruskan.
Saya kira kita sembari memetakan beban tugas juga memperbaiki manajemen PNS. Selain itu, leadership juga diperlukan. Dalam jangka waktu tertentu, moratorium lebih rasional dilakukan. Kalau beban tugas sudah seimbang dengan jumlah orangnya, maka boleh bicara tentang pensiun dini.
Menurut Anda berapa lama moratorium penerimaan CPNS yang ideal?
Harus ada pantauan dan harus dipetakan. Saya kira setidaknya butuh 3-4 semester untuk melakukan redistribusi dan perbaikan manajemen PNS.
Moratorium ini tidak akan berdampak negatif? Misalnya berdampak meningkatkan angka pengangguran?
Kalau demikian, kita bicara manusia Indonesia. Di negara berkembang, PNS masih jadi agent of change. Nanti, ukuran moratorium adalah pembangunan ekonomi. Harus dipantau betul apakah dengan moratorium itu jadi ada perluasan tenaga kerja, apakah lantas ada penyerapan di sektor swasta juga?
Kalau moratorium hanya dalam 1 semester, sangat lemah bisa dilakukan perbaikan. Moratorium itu bukan berarti menutup semua lini pekerjaan di pemerintahan. Sebab saya yakin masih ada lini yang membutuhkan tenaga baru. |dtc|