Oleh : Tim SWATT-Online.com
REKTOR UI (Universitas Indonesia), Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri belum lama ini menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa/HC) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul-Azis, tepatnya pada 21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan Al-Shafa, di Mekah.
Namun rupanya masalah (pemberian gelar) ini menjadi perdebatan yang sangat berkepanjangan dikalangan pengkritik, apalagi kalangan pengkritik kebanyakan mengkaitkan empat hari setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yhudoyono soal perlindungan buruh migrant di konferensi internasional Labour Our Organization (ILO), di mana pemerintah dinilai telah gagal melindungi Ruyati binti Satibi (54) warga kampung Ceger, kecamatan Sukatani, Bekasi, yang telah dihukum pancung konon lantaran membunuh majikannya.
Eksekusi mati tenaga kerja asal Indonesia sebenarnya bukanlah pertama kali terjadi, sebelumnya sudah pernah ada, dan yang terpenting sejauh ini Arab Saudi belum berpihak pada TKI. Sebagai misal TKI Sumiati binti Salan, 23 asal Nusa Tenggara Barat yang divonis bebas pada tingkat banding padahal perempuan itu telah dibuat cacat seumur hidup oleh majikannya.
Data migran care, mencatat saat ini jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Timur Tengah sebanyak 23 pekerja migran. Jumlah itu terdiri dari 15 pekerja wanita dan 8 laki-laki, termasuk TKI asal Subang bernama Darsem, yang kini sudah kembali ke Indonesia dan hidup tenteram.
Lalu melihat fenomena di atas, saya (penulis) dan anda (pembaca) tentunya bertanya apakah Raja Arab Saudi tersebut pantas dianugerahi gelar Honoris Causa (HC)? Dan, mengapa Gumilar sangat “ngotot” memberikannya kepada pria kelahiran 1923 itu?
Gelar Doctor Honoris Causa memang layak diberikan oleh universitas-universitas di dunia, asalkan mengacu pada standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999, Tentang Pendidikan Tinggi, yakni Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan atau kemanusiaan.
Alasan Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri pun memberikan gelar HC kepada Raja Abdullah, pasalnya karena ia telah memiliki “prestasi” dibidang perdamaian dan kemanusiaan.
Dibidang perdamaian, Presiden Sidang Umum PBB, Miguel D’Escoto diberitakan sebelumnya pernah memberikan pengakuan kepada Raja Abdullah atas inisiatif pribadinya yang mensponsori Dialog Antar Agama yang diselenggarakan badan dunia itu pada 2008.
Dialog 2008 itu dicatat sebagai peristiwa sangat penting. Sebab pada saat itu hubungan antar agama khususnya antara muslim dan non-muslim, sedang sangat sensitifnya.
Pemicunya adalah sikap Presiden AS George Bush yang sangat keras terhadap Islam. Bush tanpa disadarinya, seperti pemimpin yang sedang mendukung kelahiran gerakan “Fundamentalis Kristen” melawan Fundamentalis Islam. Raja Abdullah lalu muncul dengan pendekatan yang lebih konstruktif.
Mula-mula dia berkunjung ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Paulus, pemimpin umat Katolik se-dunia. Kunjungan ataupun pertemuan serupa belum pernah terjadi. Sehingga sejak itu terjadi penurunan suhu panas yang membebani kalangan Muslim dan non-Muslim.
Pekerjaan diplomasi Raja Abdullah, sejatinya dianggap cukup melelahkan. Sebab selain usianya yang sudah cukup tua, persoalan perbedaan agama dan keyakinan bukan hal yang gampang untuk mendialogkannya.
Memang melihat kinerja Raja Arab Saudi Abdullah, patutlah Rektor UI (Universitas Indonesia), Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri mengacungkan jempol. Karena terbilang ia telah menjaga perdamaian dunia.
Lalu di manakah letak ‘kemanusian” Raja Abdullah terhadap berbagai kasus yang menimpa TKI Indonesia di negeri kelahiran nabi itu? Apakah Gumilar lupa bertanya kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam memberikan gelar tersebut?
Ataukah Gumilar juga lupa, siapa yang mengangkat dirinya menjadi seorang rektor kalau bukan Mendiknas? Perlu diingat, Menteri Pendidikan Nasional sebenarnya memiliki kekuasaan penuh untuk bisa menolak usulan yang diajukan Universitas Indonesia, karena pada dasarnya setiap gelar honoris causa harus melalui persetujuan menteri. Dan, tentunya tidak akan menjadi tanda tanya publik dan menimbulkan masalah baru.|SOL|Inilah|