Obral diskon masa tahanan berupa remisi dan grasi terhadap koruptor bakal memicu kecemburuan antarnapi. Kenapa kok koruptor banyak yang mendapat diskon, sedang napi teroris cuma sedikit. Padahal keduanya sama-sama pidana khusus.
Hari kemerdekaan dan lebaran jadi momen yang ditunggu para narapidana. Soalnya, saat itu, pemerintah “obral” remisi (pemotongan masa hukuman) dan grasi (pemberian ampunan) berupa pembebasan bersyarat.
Kini pemberian diskon masa tahanan tersebut digugat berbagai kalangan, lantaran tak jelas mekanisme dan parameter yang diterapkan untuk menetapkan apakah seseorang terpidana itu berhak menerima remisi atau grasi.
Penolakan atas mekanisme pemotongan masa tahanan ini makin kencang disuarakan, tatkala masyarakat banyak melihat koruptor mendapat remisi dan grasi.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Juntho menilai keputusan pemberian remisi dan grasi terhadap para koruptor kontra produktif bagi upaya pemberantasan korupsi.
Dikatakan, sikap pemerintah yang mengobral remisi terhadap para koruptor mengindikasikan sikap pemerintah yang belum 100 persen mendukung kerja KPK.
”Karena kebanyakan koruptor yang mendapat remisi atau grasi itu kan koruptor yang kejahatan nya dibongkar KPK,” katanya.
Dijelaskan Esson, korupsi merupakan kejahatan luar biasa, yang harus ditangani dengan cara-cara yang luar biasa pula.
Jadi, kata Esson, sebaiknya koruptor itu dihukum berat, bukan malah didiskon hukumannya. “Dimana rasa keadilan itu.”
Esson menduga, proses pemberian remisi dan grasi dipenuhi penyimpangan dan rawan praktek korupsi. Karena, parameter yang digunakan untuk memutuskan apakah seorang narapidana layak diberikan remisi atau tidak itu tidak jelas.
“Kalau cuma syarat napi tersebut berkelakuan baik, kan bisa jadi penilaian berkelakuan baik itu di mata petugas Kementerian Hukum dan HAM itu dalam tanda kutip,” imbuhnya.
Kalau sudah seperti ini, sambung Esson, kan malah akan memperburuk citra pemerintah. Bukan tidak mungkin pemerintahan Yudhoyono akan dinilai hobi mengurangi legalitas pemberantasan korupsi.
Direktur Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Muchtar, juga berpendapat nyaris sama dengan Esson.
Dijelaskan Zainal, syarat narapidana harus berkelakuan baik yang dijadikan sebagai parameter penentuan remisi sifatnya sangat subjektif. Karena hanya sipir yang tahu. Jika parameter itu diterapkan di lembaga pemasyarakatan Indonesia yang masih bobrok, kata Zainal, maka dipastikan koruptor kelas kakap bakal mendapat remisi terus setiap tahunnya.
“Penilaian kelakuan baik pada akhirnya kan persoalan like atau dislike. Sangat mungkin uang bermain di ranah itu,” tambahnya.
Di sisi lain, remisi yang diberikan kepada napi koruptor akan dipandang sebagai keputusan yang tidak adil bagi terpidana kasus terorisme. “Dua pidana ini sama-sama pidana khusus. Kenapa remisi koruptor mudah, sedangkan teroris sulit?” imbuhnya.
Untuk itu, Zainal meminta, remisi bagi koruptor dihapuskan saja. “Dengan demikian, efek jera yang dimaksudkan pemerintah pun bisa maksimal.
Sementara aktivis Indonesia Budgeting Center (IBC), Arif Nuralam, menilai keputusan pemerintah mengobral grasi adalah bentuk sikap inkonsistensi pemerintahan Yudhoyono terhadap pemberantasan korupsi.
“Itu adalah pembelokan terhadap spirit pemberantasan korupsi. Dulu SBY mengatakan akan berdiri di garis terdepan pemberantasan korupsi. Faktanya jauh panggang dari api. Ini sama saja pengkerdilan hukum,” kata Arif.
“Kalau Koruptor Diberi Remisi, Mereka Pasti Korupsi Lagi”
Johan Budi SP, Juru Bicara KPK
Johan menilai pemberian remisi dan grasi bagi koruptor adalah bukti adanya perbedaan semangat antara pemerintah dan masyarakat, terkait upaya pemberantasan korupsi.
Masyarakat, dijelaskan Johan, selama ini kerap menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka hukumannya pun otomatis harus luar biasa, bahkan kalau perlu hukuman mati.
“Jadi, terbitnya remisi dan grasi ini adalah soal semangat pemberantasan korupsi yang tidak sama. Kalau remisi bebas diberikan kepada para koruptor, mereka pasti akan mengulangi perbuatannya. Tidak ada efek jera, dan apa jadinya negara ini?” katanya.
Diakui Johan, memang pemberian remisi dan grasi tidak melanggar undang-undang, namun kalau dilihat dari sisi semangat pemberantasan korupsi kan patut dipertanyakan.
Untuk itu Johan berharap PP yang mengamanatkan pemberian remisi atau grasi kepada napi lebih diperketat lagi syaratnya. KPK dalam waktu dekat ini berencana akan menggelar rapat untuk merevisi syarat pengajuan remisi dan grasi terhadap napi korupsi.
KPK akan mengajukan kriteria yang wajib dipenuhi napi korupsi jika ingin mendapat remisi atau grasi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Azis Syamsuddin, menyatakan DPR akan memanggil Menkumham Patrialis Akbar dalam pekan-pekan ini atau sesudah lebaran nanti.
“Kami ingin melihat apakah Kemenkumham sudah memenuhi prosedur atau belum dalam memberi remisi. Kalau sesuai, tidak masalah. Tapi seharusnya adil dong terhadap napi lainnya,” tambahnya.
“Apa Perlu Napi Korupsi Ditempatkan Di Pulau?” Patrialis Akbar, Menkum dan HAM Politisi PAN ini menyatakan, pemerintah sangat terbuka jika masyarakat atau lembaga penegak hukum lainnya ada yang menginginkan revisi terhadap PP tentang persyaratan remisi bagi terpidana korupsi.
Pemerintah, kata Patrialis, siap mengkaji usulan revisi tersebut. Dipaparkan Patrialis, sebelumnya proses pergantian PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan menjadi PP Nomor 28 Tahun 2006, juga sempat diwarnai protes dari kalangan pegiat HAM dengan alasan ada klasifikasi-klasifikasi.
“Nah, untuk itu jika mau ada perubahan lagi seyogyanya ada sikap yang sama dari semua pihak dulu,” kata Patrialis.
Lebih lanjut, seraya ingin menyerap aspirasi kalangan penggiat antikorupsi, Patrialis mengatakan, kalau perlu nanti dalam usulan PP yang baru turut dikaji soal penyedian tempat khusus bagi para koruptor.
”Di pulau tertentu misalnya.Tapi apakah pertimbangan itu melanggar HAM atu tidak?”lanjutnya.
Patrialis menyangkal, jika lembaganya dinilai tidak sejalan dengan KPK dalam semangat pemberantasan korupsi. Patrialis menegaskan, proses pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat semuanya dilandasi undang-undang. Perhitungan dan pertimbangan yang dilakukan Dirjen Pemasyarakatan juga sangat matang.
Jadi, jika ada orang-orang yang memerotes keputusan remisi yang telah dikeluarkan, bisa jadi mereka tidak paham undang-undang.
“Jadi, tidak benar juga jika dikatakan kita itu obral remisi.Yang benar adalah melaksanakan aturan hukum,” katanya.
Jika suatu saat dipanggil DPR untuk menjelaskan proses pemberian remisi bagi terpidana korupsi, Patrialis mengaku siap.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum DPR, Benny K Harman pemberian grasi atau amnesti sebelum sampai ke tangan presiden, sudah melibatkan lembaga hukum terlebih dulu.
Jadi, Presiden dalam menerbitkan grasi itu bukan pertimbangan hukum lagi, tapi non-hukum dan itu semua diatur oleh undang-undang.
“Apa pertimbangan Presiden? Yang jelas didasarkan kepada kemanusiaan, nggak ada hubungannya dengan kampanye anti-korupsi Presiden,” kata angota Fraksi Partai Demokrat ini.
Sumber: padang-today.com