
Berdiskusi dengan anak saat ini sudah sangat jarang dilakukan oleh orangtua. Orangtua pun merasa paling benar saat anak-anak menyampaikan pendapatnya. Orangtua (suami isteri) pun seringkali terlalu egois saat berbagi peran dalam mengurus anak. Suami merasa tanggungjawabnya mencari uang dan memenuhi kebutuhan keluarga, isteri yang bekerja juga merasa sangat sibuk dan tak punya waktu untuk mengurusi anaknya. Akibatnya, anak dititipkan kepada orang lain dan segala urusan sekolahnya diatur oleh pembantu.
Oleh : James P Pardede
Jangankan untuk berdiskusi dengan anak, waktu untuk bertemu saja pun sangat singkat. Tak heran kalau belakangan ini kita menemukan anak-anak yang bicaranya tidak sopan, suka ketus dan perilakunya sering tidak terarah. Anak-anak sekarang pun tidak lagi memiliki sopan santun dan hormat kepada orangtua.
Jika menginginkan anak memiliki sikap hormat (respek) kepada orangtua, revolusi mental yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo harus dumulai dari keluarga. Berdiskusi dan menjalin komunikasi yang baik dengan anak adalah salah satu upaya dalam mewujudkan revolusi mental. Dengan mengajak anak berdiskusi, maka anak-anak akan merasa didengarkan dan dihargai.
Menurut Kepala Sekolah SMP Santo Yoseph Jalan Pemuda Medan, Drs. Cawir Tarigan orangtua yang mau berdiskusi dan meluangkan waktu dengan anak akan menjadikan mereka tumbuh dan berkembang dengan baik. Orangtua jangan sampai menjatuhkan mental anak dengan mematahkan pendapatnya. Cara-cara yang menjatuhkan harga diri justru membuat anak kehilangan rasa hormat kepada orangtua. Bahkan dapat terjadi, anak mengembangkan pemberontakan dalam berbagai bentuk.
“Banyak cara dilakukan anak untuk memberontak orangtuanya. Ada yang menunjukkan ketaatan di depan orangtua, tetapi memberontak meledak-ledak di luar rumah. Ini menandakan anak takut dihadapan orangtua. Beda dengan anak yang hormat dan respek. Anak yang respek akan mendorong anak tetap melakukan hal yang baik, meskipun orangtua tidak melihatnya,” kata Cawir Tarigan.
Kalau anak-anak sudah tidak respek lagi terhadap orangtua, lanjut Tarigan maka anak-anak akan mencari orang yang respek terhadapnya dan kesenangan di luar rumah. Karena, rasa hormat terhadap orangtua lebih baik daripada takut, sebab dari respek akan lahir ketaatan yang tulus dan bukan ketakutan.
Sikap anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua akan terbawa ke sekolah, tempat dimana anak mendapatkan pedidikan formal. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kepala Sekolah SMA Negeri 17 Medan, Soagahon Simanungkalit menyampaikan berhasil tidaknya pendidikan anak dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kesehatan dan sikap anak. Kemudian, faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan adalah lingkungan terdekat, yakni keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama bahkan yang utama yang diperoleh anak sebelum memasuki dunia sekolah.
“Peran orangtua sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar pendidikan terhadap anaknya seharusnya disadari oleh para orangtua. Dengan dasar yang kuat, anak akan lebih siap memasuki dunia sekolah,” paparnya.
Pentingnya peran keluarga dalam mengawal pendidikan anak menjadi sebuah program yang sangat penting dan terus disosialisasikan pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diturunkan sampai ke daerah dengan nama “Pendidikan Keluarga”. Program Pendidikan Keluarga yang menjadi fokus pemerintah dalam mewujudkan anak Indonesia cerdas, bermoral, mandiri, memiliki mental yang baik dan bertanggungjawab bisa diakses lewat situs http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id.
Penanaman budi pekerti dan pembentukan moral anak yang dimulai pada masa usia emas (golden age) sangat mempengaruhi perilakunya hingga usia sekolah SMA atau SMK. Anak usia emas ibarat kertas putih, ketika sudah ditulis A atau B maka itulah yang sejujurnya. Ketika ada upaya untuk menghapusnya akan ada bekasnya. Itu sebabnya, walaupun sudah beranjak dewasa, kata Simanungkalit kemandirian anak belum sepenuhnya terjadi. Anak-anak masih membutuhkan perhatian dan dukungan termasuk dalam proses pendidikannya. Program pendidikan keluarga menekankan terjalinnya hubungan kemitraan yang erat antara tiga unsur pelaku pendidikan atau trisentra pendidikan, yakni Sentra Keluarga, Sentra Satuan Pendidikan dan Sentra Masyarakat.
Sentra Keluarga adalah bagian utama dalam kehidupan seorang anak. Suasana keluarga yang hangat dan penuh dukungan diyakini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan anak. Pengalaman empiris membuktikan bahwa keluarga yang agamis berpotensi akan melahirkan anak yang agamis pula.
Keluarga menjadi benteng dalam membentuk karakter anak, sikap dan perilaku positif anak dalam memanajemeni pola hidup, pola pikir dan pola makannya. Keluarga juga akan menjadi pondasi yang kuat dalam membangun iman anak, ketaatannya dalam menjalankan ibadah dan bagaimana anak memiliki kerinduan dalam meningkatkan kemampuannya dalam menimba ilmu.
Sentra Satuan Pendidikan (Sekolah) menjadi tempat dan lingkungan terpenting dalam pendidikan formal anak. Selain guru yang professional, suasana sekolah yang ramah, aman, nyaman dan sehat serta saling asah, asih, dan asuh diyakini akan memberikan atmosfir positif terhadap penumbuhan karakter dan gairah belajar para peserta didiknya.
Orangtua harus benar-benar dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya, kalau orangtua salah atau terlalu memaksakan anak untuk menimba ilmu di sekolah A atau B agar orangtua merasa terhormat akan menjadi boomerang atau bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membuat anak merasa tidak nyaman dalam menjalani pendidikannya.
Kemudian, Sentra Masyarakat menjadi sangat penting dan diperlukan dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS), dimana setiap individu belajar untuk tanggap terhadap individu lain. Keterwakilan masyarakat dalam konteks ini dapat diperankan oleh komite sekolah. Hanya saja, kenyataan di lapangan seringkali komite sekolah yang ditunjuk seperti tak berdaya dalam menjembatani penyelesaian permasalahan yang ada di sekolah.
“Kemitraan ini bertujuan untuk mewujudkan ekosistem pendidikan yang nyaman dalam menumbuhkan karakter dan budaya prestasi semua warga sekolah, khususnya peserta didik. Oleh karena itu, manfaat dari kemitraan pendidikan keluarga harus mengarah kepada peserta didiknya,” tandasnya.
Dukungan Semua Elemen
Sementara Anggota Komisi B DPRD Medan Wong Chun Sen/Tarigan yang membidangi pendidikan ini menyampaikan pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak akan berdampak pada perkembangan anak di kemudian hari. Apabila anak mendapatkan perlakuan yang kurang baik sejak usia dini, maka tepat pada waktunya nanti ia akan protes dan merasa paling benar dari orangtuanya.
“Sikap anak berperilaku tidak positif sesungguhnya sangat membahayakan orang-orang di sekitarnya. Satu orang yang makan nangka, tapi semua kena getahnya,” paparnya.
Buruknya komunikasi antara orangtua dengan anak, atau antara orangtua dengan pihak sekolah membuat keberadaan anak sering terabaikan. Ketika anak bermasalah di sekolah, pihak sekolah memanggil orangtua datang ke sekolah. Terkadang, orangtua tidak datang dan menganggap masalah yang ada hanya permasalahan biasa. Orangtua seperti ini akan mengambil jalan pintas dengan memindahkan anaknya ke sekolah lain. Masalah yang ada belum selesai, sudah muncul masalah baru.
Anak yang sering bermasalah di sekolah tidak pernah terselesaikan karena orangtua ‘kurang jujur’ dalam mengungkap keberadaan anak di rumah. Anak-anak yang berperilaku ‘aneh’ di sekolah perlu mendapat bimbingan dan konseling. Dengan upaya ini akan terungkap apa sesungguhnya akar masalahnya.
“Pentingnya peran keluarga dalam mengawal pendidikan anak tidak bisa hanya kata-kata yang dituliskan tapi tidak dijalankan. Anak-anak yang ada jangan sampai salah arah, karena nasib bangsa ini dititipkan ditangan mereka,” tandasnya.
Di era sekarang, tambahnya keluarga harus benar-benar membentengi anak dengan moral dan sikap yang positif agar tidak mudah tergoda dengan bujuk rayu oknum-oknum yang menginginkan anak-anak kita hancur dan terjerumus. Musuh besar kita saat ini adalah makin gencarnya oknum-oknum yang ingin menyeret anak kita masuk dalam lingkaran pecandu narkoba. Narkoba pun saat ini sudah ada yang masuk sampai ke kampus dan sekolah.
Maraknya peredaran narkoba saat ini sudah meresahkan masyarakat. Kapolresta Kota Medan Kombes Pol Mardiaz Kusin Dwihananto menyampaikan, pihak Kepolisian saat ini sudah membuat skala prioritas untuk mencegah penyebaran peredaran narkoba di kota Medan yang sudah merebak sampai ke berbagai daerah.
“Skala prioritas yang kita lakukan saat ini adalah memutus mata rantai peredaran narkoba dan menertibkan pungli dan premanisme serta menciptakan suasana aman, nyaman dengan zero complain,” katanya di Medan.
Memutus mata rantai peredaran narkoba tidak bisa dilakukan kalau hanya mengandalkan tindakan Polisi saja, kata Mardiaz. Dukungan dari semua elemen masyarakat sangat menentukan termasuk tokoh agama, alim ulama, pendidik, orangtua dan pendeta.
Beberapa bulan belakangan ini, Polresta Medan bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Utara (BNNP Sumut) melakukan penggeledahan terhadap tempat-tempat yang dianggap sebagai kantong peredaran narkoba. Dari hasil operasi ini, banyak daerah saat ini yang dianggap sebagai kantong peredaran narkoba dilakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakatnya agar lebih peduli terhadap situasi dan kondisi ketertiban masyarakat (kamtibmas) di lingkungannya masing-masing.
“Kita mengharapkan, ke depannya masyarakat yang memiliki kesadaran dan lebih proaktif dalam melaporkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat,” katanya.
Melihat korban penyalahgunaan narkoba yang sudah merebak sampai ke anak-anak usia sekolah, lanjut Mardiaz, kita juga sangat mengharapkan peran sekolah dalam memutus peredaran narkoba. Sekarang tidak jamannya lagi penyuluhan tentang apa itu narkoba, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membentengi diri agar jangan sampai terpapar narkoba.
Di kesempatan terpisah, Pimpinan Yayasan Pusat Rehabilitasi Bukit Doa Taman Getsemane, Ps. Johnny Seragih, STh menyampaikan bahwa sosialisasi dan penyuluhan tentang bahaya narkoba sangat penting dilakukan untuk mencegah generasi muda terlibat penyalahgunaan narkotika.
Agar anak tidak terjerumus dalam dunia kelam narkoba, peran keluarga menjadi sangat penting dalam mengawal pendidikan anak. Tidak hanya keluarga, peran guru, sekolah atau teman-temannya di sekolah juga ikut berperan. Pendidikan anak adalah tanggungjawab kita bersama, pembentukan moral dan mental mereka juga tanggungjawab kita bersama. Apa yang dicetuskan Presiden RI Joko Widodo tentang pentingnya revolusi mental memang harus dimulai dari keluarga.
Penulis adalah kontributor SWATT Online di Medan, Sumatera Utara.