
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pemberian hak politik kepada TNI belum waktunya dikarenakan mengingat kematangan berpolitik yang masih rendah. Dan jika dipaksakan, akan menimbulkan perpecahan internal.
“Kondisi politik kita belum matang. Jangan sampai nanti ada TNI-PDIP, TNI-Golkar, TNI apa. Nanti perang sendiri,” ujar Ryamizard, di gedung DPR, Jakarta, Senin (10/10).
Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada 4 Oktober lalu. Namun, ia menyadari itu tidak bisa dilakukan sekarang. Mungkin, beberapa tahun ke depan.
Menurut Ryamizard, proyeksi ke depan pun belum bisa memastikan pemberian hak itu. Yang jelas, katanya, hak politik warga sudah dicabut begitu ia masuk dalam kedinasan TNI. Dan itu lebih baik baginya daripada TNI berpolitik.
“Nanti TNI terpecah-pecah. Partai-partai tidak semua solid,” akunya.
Jikapun ada hak politik, lanjut Ryamizard, itu dimungkinkan dalam konteks utusan golongan di MPR seperti masa Orde Baru.
“Kalau itu saya setuju-setuju aja. Tapi tidak berpolitik. Jadi politik negara, politik menyatukan bangsa,” imbuh dia.
Hal yang sama pernah dikemukakan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dasar netralitas TNI sudah ada di Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, dan UU Penyelenggaraan Pemilu.
“Semua itu menyatakan, kalau masalah politik TNI harus netral,” kata Pratikno.
Saat ditemui di gedung DPR, Panglima TNI kembali menegaskan komitmennya untuk terus menjaga netralitas pihaknya. Berbagai aturan perundangan sudah menegaskannya.
“Politik ini adalah politik negara. Jadi TNI harus berpihak terhadap keamanan. TNi harus netral,” cetus dia.
Jika ada anggota TNI yang melanggar netralitas itu, Gatot meminta warga tidak segan melaporkan hal tersebut kepada markas tentara terdekat atau Polisi Militer TNI. (MI)