Polresta Surakarta mengungkap peredaran sabu di dalam Rutan Kelas 1 Solo. Selain menangkap tujuh napi yang sedang berpesta sabu, polisi juga menangkap seorang sipir yang memasukkan barang terlarang itu ke dalam rutan.
Kapolresta Surakarta, Kombespol Nana Sudjana mengatakan, tujuh orang yang ditangkap adalah napi dan tahanan yang berada di dalam blok khusus narkoba. Saat dilakukan pemeriksaan urine, dipastikan ketujuh orang tersebut positif menggunakan narkoba.
“Di dalam kamar juga ditemukan alat hisap sabu. Bahkan di saku celana salah satu napi berinisial DK, ditemukan lima paket sabu siap pakai. Operasi ini kami lakukan setelah berkoordinasi dengan pihak berwenang di Rutan Kelas 1 Solo,” ujar Nana kepada wartawan di Mapolresta Surakarta, Selasa (12/4/2011).
Selanjutnya polisi mengusut asal-usul narkoba jenis sabu tersebut. DK kemudian mengaku sabu tersebut milik salah seorang napi. Napi tersebut mengaku memiliki tujuh paket sabu yang disimpan di rumah. Jika DK bisa mengambilnya, maka barang tersebut akan dibagi dua.
DK selanjutnya meminta bantuan kepada N, seorang temannya yang berada di luar tahanan, agar mengambil sabu tersebut. Kepada N, DK berpesan jika barang telah diambil agar dititipkan kepada K, sipir Rutan. Selanjutnya K yang akan mengantarkan barang itu ke dalam rutan.
“Sesuai pesan DK, N akhirnya menyerahkan barang tersebut ke rumah sipir K. Selanjutnya K yang menyerahkan tujuh paket hemat (paket ukuran kecil-red) sabu itu kepada DK. N saat ini masih buron, sedangkan sipir K telah kami tangkap dan kami jadikan tersangka,” ujar Nana.
Dua dari tujuh paket sabu itulah yang digunakan untuk pesta sabu di dalam kamar No 5 Blok D/Narkoba Rutan Solo. Sedangkan lima paket lainnya masih disimpan oleh DK dan saat ini disita oleh polisi untuk dijadikan barang bukti.
“Para pelaku dijerat dengan Pasal 114 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun hingga maksimal 20 tahun dan denda Rp 1 miliar hingga 10 miliar, serta Pasal 112 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman 4 hingga 12 tahun dan denda Rp 800 juta hingga Rp 8 miliar,” ujarnya. |dtc|