Pada Tanggal 18 Juni 2011, pemerintah secara resmi telah mengajukan RUU Keamanan Nasional kepada DPR RI. Dan sejak tanggal 27 Juni 2011, DPR RI memulai agenda pembahasan RUU tersebut dengan membuka berbagai masukan dari berbagai kalangan dalam rangka penyempurnaan draf dan menghimpun aspirasi masyarakat.
Sebagai salah satu organisasi Hak Asasi Manusia, Setara Institute menaruh perhatian seksama terhadap draf RUU Keamanan Nasional tersebut. “Pada prinsipnya Setara Institute setuju bahwa penataan komprehensif dan sistematis terhadap seluruh UU yang terkait dengan sektor keamanan adalah kebutuhan negeri ini,” kata Direktur Setara Institute Hendardi dalam rilis yang diterima wartawan, Selasa (5/7/2011).
RUU Keamanan Nasional diharapkan dapat meletakkan dasar fungsi kerja intelijen yang akan diatur dalam UU Intelijen Negara yang saat ini sedang dalam pembahasan DPR. Setara Institute menggarisbawahi pernyataan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, bahwa RUU Keamanan Nasional dibutuhkan untuk menjadi semacam landasan bagi upaya penanggulangan radikalisme.
“Radikalisme, di samping terorisme adalah ancaman bagi keamanan nasional dan sejauh ini belum ada UU yang secara eksplisit menegaskannya,” ujarnya.
Menurut Hendardi, persoalan serius RUU Keamanan Nasional adalah menyangkut pelibatan TNI dan penetapan keadaan darurat. Regulasi yang mengatur tentang status keadaan darurat yaitu Perppu No 23/prp/1959 dihidupkan kembali untuk memulihkan keamanan ketika terjadi kekacauan paska jajak pendapat di Timor Timur.
“Mengenai pelibatan/keterlibatan TNI berkaitan dengan tingkatan ancaman situasi di masyarakat, sebagaimana ditahui salah satu isu yang mengemuka paska Orde Baru adalah tentang bagaimana membangun otoritas sipil terhadap militer dan pemisahan yang jelas antara kewenangan yang menjadi domain TNI dan Polri,” papar Hendardi.
Namun demikian, konsekuensi logis dari RUU Keamanan Nasional adalah degradasi fungsi Kepolisian yang semula berwenang penuh mengurusi masalah keamanan negara menjadi institusi yang memiliki kewenangan dalam tingkat tertentu sama dengan institusi lain dan tidak lebih menjadi penegak hukum. Padahal dalam kondisi keadaan tertib sipil dan darurat sipil, peran Polri sangat strategis, bukan hanya sebagai penegak hukum tapi untuk menjaga agar kebijakan dan peraturan pemerintah bisa berjalan.
“Karenanya kedudukan polisi pada struktur Forum Koordinasi Keamanan Nasional baik di provinsi dan daerah, hanya sekadar sebagai anggota tidak didasarkan pada realitas yang ada, minimal seharusnya posisi Polisi adalah menjadi Wakil Koordinator.”
Selain itu, ada lagi masalah krusial dalam RU ini yakni menyangkut kewenangan intelijen melakukan penyadapan.
“Masih terdapat beberapa isu kontroversial sebagaimana dilansir dan keluhkan banyak pihak terkait dengan kewenangan intelijen melakukan penyadapan, penangkapan, pemeriksaan, penunggalan otoritas penetapan potensi ancaman potensial dan aktual (Pasal 17), dan potensi abuse of power karena penunggalan otoritas,” paparnya.
Hendardi berharap, RUU Keamanan Nasional menjadi primary law yang meletakkan kerangka besar bagi semua produk UU yang berkaitan dengan sektor keamanan. Namun tampaknya masih problematik dan tidak cukup dengan draf sebagaimana yang saat ini sudah berada di tangan DPR RI.
“Perubahan paradigmatik yang ada dalam RUU Keamanan Nasional khususnya dalam melihat ancaman kini dan masa depan menunjukkan kemajuan. Tapi tanpa perubahan khususnya pada struktur komando teritorial TNI, ini bagaikan sebuah mobil dengan desain baru tapi yang digunakan tetap mesin lama. Sehingga dikhawatirkan tidak ada perubahan signifikan,” kritik Hendardi. |dtc|