Instruksi contek massal dilaporkan terjadi di SDN Gadel II/577 Tandes, Surabaya dan SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta. Ini merupakan kasus kecil yang berdampak besar sehingga harus mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat.
“Ini kasus kecil tapi berdampak besar. Ada semacam kode atau tanda berupa legalisasi untuk melakukan manipulasi secara massal. Ini kejahatan yang coba ditularkan dari atas ke bawah. Remaja, guru, siswa, bertindak sesuai lingkungan. Mencontek massal ini bisa karena mereka mengikuti logika di lingkungan masing-masing yang mana terjadi juga banyak penyimpangan,” kata sosiolog Funco Tanipu.
Berikut ini wawancara dengan akademisi dari Universitas Negeri Gorontalo tersebut, Kamis (16/6/2011):
Menurut Anda mengapa muncul fenomena instruksi mencontek massal?
Sebenarnya ini hanya fenomena kecil dari fanomena besar di Indonesia. Kasus contek massal mungkin banyak terjadi, tapi hanya itu yang terpublikasi. Mencontek itu tidak hanya di ujian nasional saja. Dalam ujian lainnya juga masih ada yang melakukannya.
Saya kira instruksi ini muncul karena angka kelulusan menurun atau rendah. Semakin tinggi angka kelulusan umumnya mengindikasikan pendidikan di sekolah tersebut berhasil. Lalu ini berimbas pada pendidik di sekolah yang mendapat penghargaan, hadiah, hal yang sifatnya prestasi yang diberikan pemerintah.
Ukuran-ukuran yang seperti itu lalu meminggirkan etika dan kejujuran. Nilai akademis mungkin di satu sisi meningkat, tapi di sisi lain menjadi minus kejujuran. Pendidikan sekarang ini lebih dimaknai sebagai peningkatan kognitif yang dilegalisasi dengan gelar dan ijazah kelulusan. Padahal menurut saya seharusnya pendidikan memberikan tak hanya pengetahuan tetapi juga moral dan etika. Kalau ini jamak terjadi maka membuka bobroknya kualitas mutu pendidikan yang sebenarnya.
Jika ini dibiarkan apa dampaknya?
Ini kasus kecil tapi berdampak besar. Ada semacam kode atau tanda berupa legalisasi untuk melakukan manipulasi secara massal. Ini kejahatan yang coba ditularkan dari atas ke bawah. Remaja, guru, siswa, bertindak sesuai lingkungan. Mencontek massal ini bisa karena mereka mengikuti logika di lingkungan masing-masing yang mana terjadi juga banyak penyimpangan.
Perilaku menyimpang pada hari-hari ini dianggap biasa sehingga nantinya akan menjadi hal biasa. Kalau yang menyimpang seperti mencontek massal ini dibiarkan maka akan menjadi bom waktu yang akan dituai di masa depan. Anak-anak dan remaja ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang gemar melakukan manipulasi, korupsi dan menjadi penjahat. Tindakan yang tidak jujur sekarang ini akan menimbulkan dampak kelak, dan ini beriringan.
Termasuk akan meningkatkan orang-orang yang hipokrit?
Ya, itu pasti. Saya rasa kurikulum saat ini sangat kering nilai-nilai humanistik yang mengajarkan humanitas, kejujuran, etika. Kurikulum lebih banyak diisi dengan pendikan yang dimaui pasar. Diajarkan ilmu hitung, ilmu alam, tapi tidak diimbangi pluralisme maupun kesalehan.
Pada beberapa riset terakhir yang dipublikasikan di media massa, gejala radikalisasi kaum muda agak naik karena toleransi tidak diajarkan ke bangku sekolah. Ini akan berdampak pada kenakalan remaja, tawuran yang tinggi, mudahnya terradikalisasi. Itu yang terjadi di kaum muda. Lalu ketika dewasa jadi korupsi dan terlibat kejahatan kerah putih.
Nah, kalau di tingkat SD saja sudah diajarkan untuk curang, lalu bagaimana ketika mereka remaja dan dewasa. Kurikulum yang ada harus direvisi.
Ujian sepertinya menjadi begitu menakutkan bagi siswa, orangtua dan guru. Mengapa?
Ini karena ujian menjadi satu-satunya instrumen dalam menilai apakah anak itu berhasil atau tidak, lulus atau tidak. Pendikan dikapitalisasi melalui gelar, ijazah. Makanya mereka melakukan segala cara, termasuk cara yang manipulatif untuk meraih gelar.
Kalau penekanan hanya pada aspek kuantitatif, maka tidak heran ada formalitas pendidikan. Asalkan lulus, kemunafikan atau apa pun akan dilakukan. Korupsi dan plagiat lantas menjadi efek bola salju dari kasus ini.
Siapa yang paling bertanggung jawab?
Saya kira ini sistemik, tidak bisa hanya melimpahkan kesalahan pada kepala sekolahnya. Ini terstruktur dan fenomena ini sudah jadi budaya massa yang terjadi setiap tahun. Lebih banyak disoroti aspek kuantitatifnya ketimbang aspek kualitatif. Kualitas lebih ditekankan pada angka.
UN saya kira sudah mengikuti logika pasar. Di mana kalau mau masuk maka harus mengikuti ritual itu (UN). Pasar lantas mendikte negara dan negara yang terdikte menerapkan standar, salah satunya standarnya melalui UN. Pendidik dan semua kalangan pun mengikuti logika itu, melihat aspek kuantitatif. Yang penting angka kelulusan naik, rata-ratanya tinggi, semua lulus dan itu dianggap prestasi. Akibatnya pendidik maupun orangtua pun melakukan semua cara agar standar kuantitatif terpenuhi.
Fenomena ini mengakar dan kemudian masuk ke dalam struktur besar yang melibatkan banyak pihak. Fenomena ini jangan hanya dilihat dari satu faktor.
Sudah tepatkah memberikan sanksi kepada guru dan kepala sekolah yang terkait kasus tersebut?
Akar permasalahan bukan itu. Pemberian saksi tidak akan menyelesaikan masalah. Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan revisi seluruh sistem pendidikan di Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, misalnya tak hanya memperbaiki kompetensi tetapi juga orientasi sosial dan respon terhadap masalah.
Selama ini saya kira yang menjadi orientasi sasaran negara hanya kompetensi atas pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan perbaikan moral malah tidak ada. Sekarang ini angka sertifikasi guru semakin banyak, kelulusan makin tinggi, bantuan operasional sekolah (BOS) naik, pendirian sekolah di mana-mana, tapi ini aspek fisik. Padahal mutu dan kualitas juga harus diperbaiki agar tidak ada manipulasi. Jadi membangun karakter juga harus dikedepankan.
Mendiknas punya visi tahun ini mengajarkan pendidikan karakter di semua sekolah. Ini baik, tapi jangan hanya ditekankan pada tanggung jawab sekolah namun juga melibatkan keluarga. Pendidikan sekarang yang diakui pendidikan formal melalui jenjang sekolah. Karenanya, pendidikan informal tidak diperbaiki. Saya berharap pendidikan karakter yang didengungkan juga melibatkan peran serta keluarga.
Kemendiknas harus segera bertindak lebih jauh?
Mendiknas hanyalah salah satu bagian. Seharusnya tidak hanya bagian ini tetapi juga bagian lain. Ini karena ada simpul-simpul kebiasaan, habitus dari bobroknya sitem pendidikan. Terkadang media juga memperkeruh keadaaan.
Keluarga dan masyarakat juga harus terlibat. Jangan sampai keluarga dan masyarakat juga melegalisasi contek massal itu. Kasus Ibu Siami yang kemudian terusir itu seperti menunjukkan bahwa masyarakat melegalisasikan mencontek massal.
Bagaimana agar Siami dan keluarganya bisa kembali ke rumahnya tanpa takut?
Kalau masyarakat melegalisasi mencontek, kecurangan, ini jadi fenomena yang mengkhawatirkan. Ada praktik melawan manipulasi malah dimusuhi. Jangan sampai terjadi ada yang melawan ketidakadilan justru mendapat perlawanan publik.
Jika Ibu Siami telah begitu berani membuka ini, apresiasi kepadanya pantas diberikan. Sekarang begini, kalau kasus Ibu Siami saja perlawanannya luar biasa, bagaimana dengan yang membongkar korupsi besar, penyelewenangan. Nanti semua orang menjadi takut membongkar ketidakadilan. Saya kira Ibu Siami pantas diberi apresiasi atas keberaniannya agar menginspirasi dan menjadi spirit.
Mendiknas telah menyampaikan tak ada indikasi contek massal di SD Gadel II. Perlukah tetap mendalami kasus ini?
Ini kan mencuat dari Ibu Siami. Untuk buka praktik ini butuh pengorbanan luar biasa dari Ibu Siami. Tidak mungkin dia akan korbankan banyak hal hanya untuk bongkar praktik ini.
Kemendiknas seharusnya berpikir ke hal yang besar. Ada laporan semacam ini seharusnya menjadi cermin perbaikan mutu pendidikan. Kalau memang ada instruksi untuk mencontek massal di sekolah itu, Kemendiknas akui saja. Apalagi kalau kasus ini bukan satu-satunya yang terjadi. Kecurangan itu banyak terjadi dan saya kira tinggal tunggu waktu untuk terungkap. Dan bisa kita lihat, ini signifikan dengan angka manipulasi dan angka kejahatan. Kalau di level anak-anak sudah curang dan diajari curang bagaimana jika kelak mereka dewasa. Kemendiknas harus melakukan langkah preventif melalui dunia pendidikan. |dtc|