Deradikalisasi menjadi program penting bagi para terpidana teroris maupun bagi pihak lain yang ditengarai berpikiran radikal. Sayangnya deradikalisasi di Indonesia dinilai belum terlalu tepat sasaran. Soal deradikalisasi ini memang harus hati-hati. Kalau deradikalisasi salah justru bisa memicu radikalisme.
Terkait deradikalisasi dan terorisme di Indonesia menjadi bahan penelitian Dr Carl Ungerer. Peneliti dari Australian Strategic Policy Institute itu menyebut, 30 persen napi teroris di Indonesia tidak mempan deradikalisasi. Akibatnya beberapa napi teroris masih berniat melakukan teror setelah bebas dari penjara.
Dosen Pemikiran dan Gerakan Politik Islam, Program Sarjana dan Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Sri Yunanto, mengatakan, temuan Ungerer masuk akal. Sebab deradikalisasi yang selama ini dilakukan masih sporadis.
“Deradikalisasi yang sudah berjalan ini masih banyak kelemahan walaupun tidak bisa dikatakan tidak ada manfaatnya. Kelemahanannya antara lain karena dilakukan sporadis dan tidak terintegrasi,” ujar Yunanto.
Berikut wawancara dengan pria yang juga aktif di Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) ini, Jumat (20/5/2011):
Terkait penelitian Carl Ungerer, bagaimana Anda melihat deradikalisasi yang telah dilakukan di Indonesia?
Kita harus melihat deradikalisasi yang sudah berjalan dan yang akan berjalan. Kalau yang sudah berjalan ini masih banyak kelemahan walaupun tidak bisa dikatakan tidak ada manfaatnya. Kelemahanannya antara lain karena dilakukan sporadis dan tidak terintegrasi. Siapa yang melakukan tidak jelas. Ini sebelum ada Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT).
Dulu memang ada Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) namun tidak bisa menjangkau keseluruhan proses deradikalisasi. Program ini mencakup berbagai aspek, sosial, ekonomi, ideologi dan lainnya yang belum terstruktur dengan baik. Apakah sudah ada kurikulum untuk mengkonter paham radikal.
Memang banyak juga orang yang menulis tentang pengkonteran paham radikal, namun sporadis, tersebar di mana-mana. Untuk upaya deradikalisasi ini banyak yang melakukan seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga ada yang dari kepolisian. Namun evaluasi sangat minim, sehingga tidak tahu apa yang mau ditingkatkan.
Terpidana teroris ditengarai dapat menyebar paham dari dalam penjara. Komentar Anda?
Sistem di penjara belum membedakan teroris. Padahal klasifikasi terpidana di penjara seharusnya bukan hanya seperti kriminal berat dan narkotika. Untuk terorisme, level teroris itu sebenarnya beda. Padahal kan ada teroris yang merupakan pelaku penyebar ideologi, pembantu, pemasok logistik dna sebagainya. Nah mereka ini ibaratnya dimasukkan jadi satu ke dalam satu keranjang, sehingga terpidana teroris yang berbeda level ini bisa berinteraksi.
Yang radikalnya 10 persen bisa meningkat karena bersentuhan dengan ideolognya. Bisa jadi orang yang dulunya menyembunyikan Noordin M Top malah jadi pengganti Noordin di lapangan.
Jadi deradikalisasi kelompok tertentu beda dengan kelompok lainnya?
Belum ada pemetaan tentang paham radikal ini. Ini belum mengarah ke sini. Meradikalisasi orang-orang yang pernah bergabung dengan NII tentu beda dengan lainnya. Saya rasa banyak soal dalam deradikalisasi, menyangkut sasaran dan aktor yang belum tersusun dengan baik.
Deradikalisasi dengan aspek ekonomi ini penting juga mengingat banyak orang yang tidak punya pekerjaan layak lantas bergabung dengan kelompok radikal. Atau saat terpidana keluar penjara, mereka tidak punya pekerjaan yang layak. Untuk ini perlu menggandeng banyak pihak, misalnya saja UMKM ikut juga, bank ikut juga. Program deradikalisasi di Arab Saudi dilakukan dengan melibatkan banyak kalangan.
Integrasi sosial juga harus dilakukan karena orang-orang radikal yang biasanya eksklusif harus bisa masuk ke kalangan moderat. Nah, untuk ini bisa dengan menggandeng Ditjen Bimas Islam dan ormas yang ada. Perlu juga pendekatan persuasif, dengan mengikutsertakan peran perguruan tinggi.
Selepas terpidana teroris ini kembali ke masyarakat, radikalisme bisa kambuh lagi?
Di luar, pendukung ideologi ini tidak hilang. Yang keluar dari penjara juga bisa jadi tidak mengakui kesalahannya, masih berpegang pada pemikirannya yang radikal. Kita tidak cukup melakukan evaluasi, sehingga tidak ada kontrol pada mereka yang sudah keluar penjara. Kita tidak tahu kegiatannya apa.
Kelompok radikal ini berbeda-beda. Ada grup yang menargetkan pengeboman fasilitas asing dan ada juga yang targetnya masyarakat sipil. Juga ada yang menekankan kegiatannya di daerah konflik. Kelompok-kelompok ini tampaknya tidak ada hubungan, tapi tidak menutup kemungkinan akan ketemu karena ada kerjaan bersama.
Jadi deradikalisasi yang Anda lihat sekarang ini memang belum tepat sasaran?
Masih belum. Masih sporadis dan belum terintegrasi. Meski sudah ada manfaatnya. Tapi manfaat ini jika dibandingkan dengan penyakitnya, masih gede penyakitnya. Saya rasa negara kita ini masih sering ketinggalan dengan teroris. Sudah ada pengeboman, ada kekerasan, tapi pemerintah masih sibuk dengan urusan birokrasi yang ruwet.
Pemicu radikalisme apa saja?
Selain tidak diberi kesempatan melihat ajaran lainnya, penyebabnya memang tumpang tindih. Ada yang karena kebencian pada AS, bisa karena adanya latar belakang faktor ekonomi. Kesenjangan ekonomi membuat sekelompok orang tidak senang dengan kelompok tertentu karena sektor informal jauh dari tangan negara.
Lalu ada orang yang anti hermeneutik (penafsiran) di mana mereka membaca apa adanya suatu ajaran. Padahal tidak bisa langsung begitu, melainkan ada penafsiran, sejarah dan pandangan yang harus dipertimbangkan.
Keberhasilan atau kegagalan mengubah keyakinan dalam bentuk reinterpretasi reorientasi, reedukasi paham dan sikap radikal ditentukan oleh beberapa faktor seperti materi yang akan disosialisakan, cara atau saluran yang digunakan, aktor yang akan melakukan program deradikalisasi dan harapan yang realistis.
Seharusnya deradikalisasi bagaimana?
Sebaiknya istilahnya jangan deradikalisasi, dirumuskan lagi istilah yang lebih baik. Karena orang yang disebut radikal juga pasti kan tidak suka. Harus dibuat pemetaan yang jelas, siapa saja, kondisinya bagaimana, dan sebagainya. Ini kan macam-macam, jadi harus jelas. Katakanlah mereka ini sebagai orang sakit, jadi harus ada diagnosis awal yang bagus agar bisa diberi obat yang sesuai.
NII yang serang sana-sini tentu beda dengan kelompok yang mengebom di sana-sini. Penanganannya beda. Media yang dipakai untuk menderadikalisasi apa, lalu siapa saja aktor yang melakukan.
Kemenag, MUI, pemuka agama, UMKM, bank dan lainnya kalau bekerja maka harus dalam payung BNPT. Jangan di bawah polisi, karena kan tugas polisi itu untuk penegakan hukum, penindakan. Pencegahan memang polisi boleh saja bertindak, tapi jangan hanya polisi karena ini bukan tugas utama polisi. Lalu harus ada manajemen, kebijakan, dukungan dana dan indikator sukses yang jelas. Kalau ini dilakukan, saya kira akan lebih baik dari negara lainnya.
Deradikalisasi bisa saja salah?
Bisa saja deradikalisasi salah. Kalau salah, maka ini bisa picu radikalisme baru. Ini betul. Satu orang sudah ditangkap terkait kegiatan radikalisme, namun ternyata masih banyak yang radikal di luar sana. Ketika pemimpinnya ditangkap, ada yang lain yang jadi dendam, dan ini harus diluruskan dengan deradikalisasi.
Dendam ini ada yang jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya saja, terpidana mati teroris seperti Imam Samudra dan Amrozi kan punya anak. Nah, ketika anak-anak ini besar jangan sampai menyimpan dendam karena ayahnya dibunuh. Karena itu, mereka harus didekati dan diberi pengertian bahwa ayahnya melakukan ijtihad yang kurang tepat. Nah adik-adik ini harus diurus negara. Lalu ibunya yang belum punya pekerjaan diberi pekerjaan, diberi masukan paham-paham moderat. Kalau ini tidak dilakukan maka bisa menumbuhkan benih radikalisme jangka pendek dan panjang.
Orang yang berpikiran radikal, seradikal apa pun, masih tetap berpeluang untuk diubah?
Sangat bisa. Pemikiran lahir dari argumen dan konteks tertentu. Semua pemikiran ideologis ada pemikiran dan sejarah. Mereka ini biasanya tidak sadar kalau konteks dan sejarah berbeda. Mereka sepertinya tidak memiliki peluang melihat pandangan yang lain. Tidak benar kalau orang yang berpikiran radikal tidak bisa berubah. Deradikalisasi ini bisa berujung baik, tapi kalau tidak dilakukan dengan baik bisa berujung tidak baik. |dtc|