Lalu berbagai upaya terus dilakukan orangtuanya untuk menyadarkan Dipa, termasuk mengirimnya ke Lampung untuk sekolah pendeta, 6 bulan di Lampung kambuh lagi dan tergiur narkoba. Lalu, tahun 2000 ia bertemu dengan David, adik dari Pdt. Johnny Seragih dan mengajaknya sekolah pendeta ke Penang, Malaysia. Tiga bulan di sana, Dipa balik lagi ke Medan dan langsung mencari bandar narkoba.
Orangtua Dipa tak pernah putus asa, setelah bertemu dengan salah seorang pemilik radio di Medan, Dipa disarankan untuk dikirim ke pusat rehabilitasi Rumah Damai di Semarang. Tiga bulan sebelum berangkat ke Semarang, Dipa mendengar sebuah suara dan membisikkan ayat firman Tuhan ke telinganya.
“Sebenarnya, saya sadar telah terjerumus makin dalam dan saya juga ingin sembuh total. Ketika saya mendengar bisikan itu, saya mencoba membuka Alkitab dari Roma 15 : 16 – 17 dan membacanya berulang-ulang,” paparnya.
Karena ingin sembuh dari ketergantungan, Dipa pun diantar oleh orangtuanya ke pusat rehabilitasi Rumah Damai di Semarang. Sebelum pulang ke Medan, orangtua Dipa menyampaikan pesan terakhir bahwa upaya ini adalah upaya terakhir dari kedua orangtuanya untuk menyelamatkan Dipa dari ketergantungan putaw. Kalau masih gagal juga, berarti tugas orangtua untuk menyadarkan Dipa telah gagal.
Melayani
Memulai hidup di Rumah Damai, Dipa merasa terasing. Karena ada aturan, sebelum satu bulan tidak boleh dihubungi orangtua dan menghubungi orangtua. Keinginannya untuk kembali mengkonsumsi putaw semakin kuat hingga akhirnya Dipa minta tolong kepada pemilik Rumah Damai agar diberi obat penenang. Tapi, jawaban dari pemilik justru lain dan menceritakan tentang teladan Yesus dalam melayani umat manusia.
“Suatu waktu, saat saya berada di kamar dan duduk termenung sekitar jam 8 malam. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan dan tanpa sadar saya sudah tertidur pulas dan bangun jam 8 pagi esok harinya. Padahal, biasanya kalau tidak mengkonsumsi putaw saya tidak bisa tidur, bahkan selalu resah,” jelasnya.
Hari ke-21 di rehabilitasi, Dipa rindu untuk berkomunikasi dengan kedua orangtuanya. Ia berdoa kepada Tuhan dan memohon agar kedua orantuanya menelepon. Diluar dugaan, orangtuanya benar-benar menelepon Dipa dan petugas langsung memanggilnya. Padahal, kalau menurut aturan sebelum satu bulan tidak boleh menerima telepon.
Setelah menutup telepon, Dipa hampir tak percaya kalau mujizat Tuhan sudah berkarya di dalam kehidupannya. Urusan telepon dari orangtuanya saja Tuhan urusin apalagi jika benar-benar mau berubah dan bertobat. Dengan tekad bulat, Dipa memutuskan untuk Sekolah Alkitab di Semarang secara non formal.
Februari 2003, Dipa pulang ke Medan dengan harapan tidak akan mengkonsumsi narkoba lagi. Waktu itu usia Dipa 30 tahun, dan orangtuanya telah membangun sebuah gereja di Jalan Flamboyan Raya Medan. Dipa menjadi gembala sidang di GBI Flamboyan Raya yang dibangun orangtuanya. Melayani jemaat sampai sakarang dan akhirnya menikah dan punya anak sepasang. Sepanjang 2003 sampai 2007, ia juga terlibat dalam pelayanan korban narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pancur Batu dan Tanjung Gusta Medan.
“Sampai hari ini, saya masih tetap ingat pesan dari pemilik pusat rehabilitasi di Semarang. Yang pahit jangan cepat-cepat dibuang, siapa tau itu obat. Yang manis jangan cepat-cepat ditelan, siapa tau itu racun. Kalimat ini terus memotivasi saya untuk berbuat yang terbaik dan menjadi orangtua yang bijaksana, paling tidak untuk anak-anak saya,” tuturnya.
Sekarang, Dipa menghabiskan waktunya melayani dengan sepenuh hati. Ia mendirikan sekolah TK dan Play Group “Anak Raja” dan sudah memiliki 60 orang siswa. Ia juga membuka Rumah Pemulihan (Drugs Rehabilitation Centre) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pemulihan pecandu narkoba bekerjasama dengan temannya dari Jakarta, Raymond Nababan.
Ada banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah dan membentengi anak agar jangan sampai terjerumus ke dunia kelam narkoba. Seperti disampaikan, Pdt.Johnny Seragih selaku Pimpinan Yayasan Bukit Doa Taman Getsemane yang menangani pasien ketergantungan narkoba, bahwa volume pertemuan antara orangtua dengan anak perlu di maksimalkan.maksimal dalam konteks meningkatkan kualtias dari pertemuan tersebut.
“Apalagi di tengah situasi seperti sekarang, orangtua harus benar-benar terbuka dan mengajari anak-anaknya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Kelak setelah mereka remaja atau dewasa, mereka telah memiliki dasar iman yang kuat, benteng yang kuat untuk menghadapi cobaan-cobaan dari luar,” paparnya.
Menjadi Masalah Global
Rentetan kasus tertangkapnya beberapa artis ibukota yang terbukti mengkonsumsi narkoba menjadi preseden buruk bagi dunia selebritis Indonesia, dimana tokoh yang dibanggakan penggemarnya ternyata pecandu narkoba.
Masuk di dunia entertainment memang banyak risiko dan tantangannya. Akan tetapi, sebelum melangkah lebih jauh tentunya artis tersebut telah memahami risiko dan efek yang akan ditimbulkan. Masyarakat tidak peduli dan tidak mengetahui risiko yang ada disana. Masyarakat hanya ingin melihat sebuah perform yang tentunya menghibur dan layak contoh.
Penyalahgunaan narkoba telah menjadi masalah global yang membutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif dari seluruh bangsa di dunia. Badan Narkotika Nasional (BNN) belakangan ini sangat gencar melakukan penangkapan dan mengungkap kasus-kasus narkoba termasuk di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan. Penangkapan tersangka pengedar narkotika di Nusakambangan bukan kali ini saja terjadi. Selama September 2010 – Maret 2011, BNN sudah empat kali menangkap tersangka di Nusakambangan. Apakah itu cukup dan membuat efek jera?
Berdasarkan data “World Drug Report” hingga tahun 2010 jumlah penyalahgunaan narkoba sebesar 16-38 juta jiwa dan yang menggunakan narkoba suntik sebesar 11-21 juta jiwa. Sementara menurut laporan Dewan Pengawas Narkotika Internasional (INCB) 2009 telah diestimasi sebesar 172 juta dan 250 juta orang di dunia menggunakan narkoba. Jenis narkoba yang umum digunakan oleh pengguna usia 15-64 tahun adalah amphetamine tipe stimulant (termasuk methampethamine 0. 4 – 1. 2 persen) dan methylenedioxymethamphetamine (MDMA yang sering dikenal dengan nama “ekstasi”) 0.3-0.5 persen, selanjutnya kokain 0.4 – 0.5 persen dan opiate 0.3-0.5 persen.
Sikap dan upaya pemerintah terhadap penanganan narkoba, yakni supply reduction (pengurangan penawaran), demand reduction (pengurangan permintaan) dan harm reduction (pengurangan dampak buruk atau dampak lanjut) masih belum berjalan maksimal. Dimana, penegakan hukum masalah narkoba masih dilakukan dengan setengah hati, kampanye dan sosialisasi yang dilakukan belum mampu menyentuh sampai ke sanubari masyarakat, terutama yang sudah kecanduan. Kemudian, konsep harm reduction yang dilakukan oleh pemerintah masih menuai kontroversi.
Menurut Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara, Asron Gultom bahwa program harm reduction (pengurangan dampak buruk) bertujuan untuk menurunkan angka kriminalitas (menjadi pemakai narkoba legal), menyediakan bimbingan dan konseling, rujukan dan perawatan, mengurangi risiko penularan penyakit dan mengurangi risiko over dosis.
“Program harm reduction yang kita lakukan sebagai lembaga koordinasi bekerjasama dengan LSM, rumah sakit dan kepolisian adalah menjurus kepada pendekatan kepada pecandu narkoba suntik,” paparnya.
Kemudian, lanjut Asron Gultom, dalam pelaksanaannya di lapangan ada 12 komponen yang bisa dilakukan dalam penanggulangan masalah pemakai narkoba suntik. Komponen tersebut antara lain mengkampanyekan penggunaan jarum suntik steril (tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama), rehabilitasi pecandu berat akan dirujuk ke pusat rehabilitasi GAN di Sibolangit atau ke Lido, Sukabumi, pemusnahan alat suntik, konseling, penjangkauan, subtitusi oral (menganjurkan lewat mulut) sampai akhirnya bisa putus dengan narkoba.
Data KPA dan Dinas Kesehatan Provsu sampai Januari 2011 diperoleh jumlah kumulatif HIV/AIDS menurut faktor risiko adalah heteroseksual 1.441, homoseksual 33, intra drug user 890, transfusi darah 58, perinatal 33, biseksual 7, hetero dan IDUs 119 serta lain-lain 4.
“Upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika di negeri ini harus dilakukan dengan sepenuh hati. Pemerintah dan semua elemen harus saling mendukung dan bersinergi,” tandasnya.
Selain bersinergi dengan semua elemen, sekarang adalah saat yang tepat untuk masyarakat kembali ke permasalahan yang paling mendasar, yaitu keluarga. Sebab keluarga merupakan pertahanan pertama dan utama bagi anak, terutama bagi para pengguna narkoba yang sudah terlanjur terjerumus.
Itu sebabnya, di tengah situasi makin maraknya peredaran narkotika, orangtua harus bijaksana dalam mendidik anak-anaknya agar lebih kuat dan tahan terhadap rayuan teman, bandar dan lingkungan. Karena, anak-anak sekarang menginginkan orangtuanya berbicara kepada mereka mengenai narkoba. Kalau orangtua terlihat ragu-ragu atau tidak yakin akan pendiriannya sendiri, maka anak justru akan tergoda untuk mencobanya.
Orangtua perlu memperkaya diri dengan pengetahuan mengenai narkoba dan sampaikan pengetahuan tersebut kepada anak dengan sikap yakin dan percaya diri. Jelaskan juga hukuman apa yang akan diterima jika terbukti menggunakan narkoba. Seperti kata Pdt.Johnny Seragih, tak mudah untuk menjadi orangtua yang bijaksana.|SWATT Online|
Foto : ilustrasi – http://drugalcoholtreatmentfinder.com/