Buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Nazaruddin tertangkap di Kolombia. Karena menjadi tahanan KPK, Nazar tak perlu mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kecuali KPK memutuskan Nazar menjadi whistle blower atau menjadi saksi dari tersangka lain yang mengancam keselamatannya.
“Dia kedudukannya sudah tersangka. Sepanjang tidak didudukkan sebagai saksi atau korban tidak perlu LPSK yang melindungi dia. Kan ada aparat Kepolisan, tersangka dan tahanan KPK, KPK berhak melindungi dia,” jelas Ketua Dewan Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Hamid Chalid, Rabu (10/8/2011).
Berikut wawancara dengan Hamid yang juga doktor hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Rabu (10/8/2011):
Sebenarnya perlu tidak LPSK melindungi Nazaruddin?
Dia kedudukannya sudah tersangka. Sepanjang tidak didudukkan sebagai saksi atau korban tidak perlu LPSK yang melindungi dia. Kan ada aparat Kepolisan, tersangka dan tahanan KPK, KPK berhak melindungi dia.
Kalau misalnya ada kekhawatiran dia diperlakukan yang mengancam keselamatannya karena khawatir terbongkar, kirim aparat yang sifatnya koordinatif antar lembaga Kepolisian disertai dengan KPK, tim dari penegak hukum, karena dia bukan saksi dan bukan korban yang dilindungi LPSK.
Bagaimana kalau whistle blower, apa bisa dilindungi LPSK dan apakah Nazar termasuk whistle blower?
Kalau whistle blower seseorang bisa dilindungi, namun kalau ada dia kedudukannya tersangka, bisa menjadi whistle blower kalau ada orang di belakang dia yang jauh lebih kuat, lebih digdaya dijaring dengan hukum.
Kalau dia memang dilindungi diselamatkan, dijaga LPSK, serta kalau tidak dilindungi orang itu terlalu kuat, dia bisa menggunakan aparat untuk mencelakan Nazaruddin, ini kalau memang berkeyakinan mengingat informasi yang sangat penting mempidana orang yang jauh lebih kuat. Kalau memang dia puncak dari persoalan, dia yang utama, dia kedudukannya tersangka saja.
Kalau dia mau dijadikan peniup peluit karena diduga kuat di belakang korupsi sebetulnya dia cuma alat saja pejabat yang lebih kuat.
Siapa yang menentukan status tersangka Nazaruddin ini bisa menjadi whistle blower?
Aparat hukum yang menentukan whistle blower, dalam hal ini KPK, setelah melihat kalau membongkar apakah mau buka suara tentang kejahatan korupsi pejabat yang besar maka semua akan terbongkar, maka KPK bisa melakukan bargain dengan tersangka, you mau jadi sasaran atau you mau buka suara. Kalau buka suara kita lindungi dan kita jadikan whistle blower. Jadi menjadi whistle blower dulu baru dilindungi.
Bagaimana kalau Nazaruddin ini menjadi saksi dari tersangka KPK yang lainnya, bisa dilindungi LPSK?
Bisa kalau dia menjadi saksi dari tersangka lain yang dipandang memiliki power yang besar yang bisa mencelakakan dia, ya mungkinlah dia perlu dilindungi.
Dibandingkan dengan Gayus Tambunan, yang saat itu juga sudah menjadi tersangka dan ditahan serta sama-sama melarikan diri, dulu LPSK menunggu Gayus meminta perlindungan dan bahkan menolak permintaan Gayus. Kali ini, tanpa diminta pun LPSK aktif membentuk tim khusus untuk melindungi Nazar, bagaimana dengan perbedaan perlakuan ini?
Apapun yang terjadi itu kan kalau bicara prosedural itu yang permintaan perlindungan bisa datang dari yang bersangkutan, bisa aparat sendiri yang mengambil keputusan. Bahwa ini yang bersangkutan kalau nggak dilindungi nggak akan terungkap, maka harus dilindungi. Itu prosedural.
Kalau membandingkannya ada sesuatu yang aneh dari sisi kasusnya sendiri boleh dipandang kedudukan 2 orang ini sama tapi kenapa dibedakan dalam tindakan itu bisa berdasarkan sesuatu yang di luar, ada sesuatu di balik itu yang bekerja sampai terjadi seperti itu.
Atau secara natural keputusan prosedural tadi yang berbeda. Memang mungkin saja ada hal yang mencurigakan, tapi kita berangkat dari pikiran yang netral. Kemungkinan itu bisa iya bisa tidak, bisa begitu saja terjadi, bisa sesuatu sedang terjadi di balik itu.
Mengenai pelarian Nazaruddin, dari situs Polisi Kolombia, Nazar masuk dari Washington. Ada yang janggal tidak dari sini, pertama nama Syarifuddin, biasanya imigrasi AS sangat ketat dengan hal ini, mengingat sering terjadi memperoleh visa saja bisa ditolak. Kedua, dia bisa menyewa pesawat dari Washington DC, apakah ‘dibantu’ pihak tertentu atau bagaimana?
Bisa jadi iya bisa jadi nggak. Kalau ditanya bantuan dari KBRI, imigrasi di sana bukan wewenang pemerintah AS, wong menteri kita pernah diperlakukan secara tidak pantas oleh imigrasi di Amerika dan kedutaan nggak bisa berbuat, cuma menyampaikan surat protes.
Jadi nggak mungkin orang bisa masuk kalau prosedur normal, kalau visa diplomat diam-diam kita nggak tahu. Sepanjang berpegang pada visa Syarifuddin itu dilihat di situ saja, ada nggak stempel imigrasi AS? Kalau nggak ada stempel di situ baru pertanyaan besar bagaimana dia bisa masuk ke AS dari Washington ke Kolombia tanpa ada stempel imigrasi Amerika.
Kalau ada stempel imigrasi dari Imigrasi AS kalau dipandang orang ini, orang nama Islam biasa-biasa saja, tidak mencurigakan petugas yang ada di bandara, dia lolos saja.
Kalau dia melalui prosedur imigrasi dan lolos pasti nggak ada campur tangan KBRI. Kalau nggak ada stempel AS, paspor yang dia gunakan patut dicurigai, di mana dia mendarat, bagaimana caranya dia masuk ke AS, menggunakan fasilitas kedutaan, atau nggak tahu.
Jadi harus meneliti paspor dan visanya?
Harus. Sebab AS nggak bargain, dalam hal ini warga negara biasa yang datang dengan nama tertentu mungkin kecurigaan lebih besar dengan prosedur imigrasi normal.
Maksud saya dia pasti ketat, pemberlakuan ketat berlaku pada semua orang. Kalau dia memandang petugas bisa lalai, petugas imigrasi dia terima kedatangan, dia lihat paspornya, bandingin sama fotonya, mungkin di layar dia sudah ada tuh Nazaruddin dari Interpol, bandingin ini orang, beda namanya, Syarifuddin, namanya manusia, lolos begitu saja keluar dengan aman.
Bisa juga ada sesuatu di situ. Makanya harus bagaimana. Dia masuk, visanya, itu kan berarti dia dapat visa AS di Indonesia, nggak mungkin dengan fasilitas kedutaan dan diplomatik.
Jadi mungkin ada Konsulat AS di Medan, tapi tetap dilakukannya di Indonesia, dia harus mendapatkan visa AS di Indonesia, di mana mendapatkannya itu harus dicari tahu.
Sedangkan Syarifuddin mengaku kehilangan paspor 3 tahun lalu, bagaimana?
Yang aneh, orang mendapat visa AS nggak gampang, lama. Sejak 9/11 kalau nggak ada fasilitas khusus dari Kedubes AS lama. Nggak tahu sekarang. Dulu saya berangkat ke Amerika Serikat sebulan setelah kejadian 9/11, kemudian saya mendapatkan fasilitas khusus Kedubes AS, sehari muncul.
Saya tanya orang-orang normal, sebulan paling cepat. Siapa yang bantu dia dapat visa, pasti ada yang bantu. Kedutaan AS kenapa mau ikutan ngasih visa kalau nggak berkepentingan. Ini semua masih berandai-andai, patut dicurigai, bisa saja sesuatu berjalan normal.
Bayangkan, yang mengurus visa AS itu Syarifuddin dan bukannya Nazaruddin, Syarifuddin ini kehilangan. Bisa ditanya, apapun, seperti kehilangan di mana, di ambil di mana, kan itu disama-samain namanya nggak jauh beda.
Mengenai kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terhadap Nazaruddin, bagaimana sebaiknya? Diproses setelah kasus utamanya diproses atau berjalan paralel?
Nggak bisa, pencemaran nama baik baru bisa dilakukan bila apa yang dia (Nazar) katakan tidak benar. Harus utamanya dulu diproses, nggak bisa (diproses dulu kasus pencemaran nama baik). Nunggu dulu ya kasusnya selesai, terbukti bahwa Anas tidak terlibat baru dia bisa nuntut pencemaran nama baik. Kalau nggak begitu pembuktiannya bagaimana? Anas bisa membuktikan apa? Pertanyaan pidananya pindah ke pencemaran nama baik. Jadi harus pidana pokoknya, apa yang dituduhkan tidak terbukti baru diproses.
Nah momentum penangkapan Nazar ini bisa untuk mengejar Nunun Nurbaetie? Kenapa dia susah sekali ditangkap?
KPK dan Polri yang bekerja sama ini berbuah baik. Mereka bekerja cukup canggih dan profesional. Terus terang saya dengar bahwa ada kata-kata begini dari petinggi-petinggi penegak hukum, ‘Kami tahu Nazar ada di mana’.
Tapi kan sebagai warga sipil masa saya harus mengejar sampai ke situ, dari situ satu saja sudah cukup, saya tahu diri. Artinya dari situ saya lihat, tinggal melihat momentum yang tepat untuk menciduk doang. Kerjanya bagus tuh.
Kerja yang sama juga bisa dilakukan oleh kepolisian bersama KPK, untuk kasus Nunun. Problemnya bahwa dia istri mantan petinggi Polri. Bisa jadi akan membuat masalah menjadi semakin rumit, saya tidak menuduh Pak Adang. Tapi dulu sebagai Wakapolri kan punya anak buah yang setia sampai hari ini pun banyak, dengan atau tanpa imbalan. Dari orang-orang itu bisa ewuh pakewuh, bisa bocoran. Ini baru sebuah spekulasi saja, yang bisa jadi mungkin Bu Nununnya yang canggih sehingga tidak mudah menangkap seperti Nazaruddin.
Atau yang mengongkosi Nunun berangkat itu yang terlalu canggih, kita nggak tahu siapa.
Tapi Pak Adang pernah menegaskan akan melindungi Nunun, itu bagaimana?
Itu pernyataan seorang suami, jangan dilihat seorang pejabat. Wajar dia sayang sama istrinya, jadi kalau saya anak saya atau bapak saya lakukan perbuatan melawan hukum saya coba lindungi, ketahuan saya umpetin di rumah saya, saya nggak bisa dipidana. Artinya ya hukum memaklumi.
Tapi kalau kasus terorisme menyembunyikan tersangka bisa dijerat juga kan?
Ya ketentuan hukumnya khusus. |dtc|