Terungkapnya jaringan terorisme di pesantren Umar Bin Khatab di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) membuat pemerintah lebih mawas diri. Bisa jadi pola rekrutmen teroris yang sama terjadi di tempat-tempat lainnya. Aparat pemerintah harus proaktif mengawasi.
“Menarik apa yang terjadi di Bima karena bisa saja terjadi di tempat lain,” kata Menkopolhukam Djoko Suyanto usai membuka Rakor Penanggulangan Terorisme di Gedung Bidakara, Jl Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Senin (25/7/2011). Menurut Djoko, aksi dan rekrutmen teroris bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Karena itu, aparat diminta proaktif untuk mengawasi dan mendeteksi dini.
“Kita harus proaktif, tidak usah takut apabila ada yang kemudian protes berlebihan di dalam langkah kita mengelola keamanan. Lebih baik kita dianggap proaktif dari pada lambat,” jelasnya. Djoko melihat koordinasi di tingkatan daerah harus lebih ditingkatkan. Upaya-upaya untuk mencegah terorisme tidak boleh dianggap sepele.
“Makanya aparat kita di daerah, apakah teritorial, kepolisian, penegak hukum, elemen masyarakat, dan kepala daerah lebih bagaimana mencermati indikasi awal di daerahnya. Itu yang sangat penting. Tugas penindakan akan lebih mudah dalam arti menangkap, menghukum dan menindak. Tapi operasi pencegahan, deradikalisasi, mengembalikan orang tersesat pikirannya,” imbuhnya.
“Kita juga harus mencermati kehidupan kita di lapangan. Ambil contoh Bima membuat bom, bom molotov, apakah itu nanti akan menjadi pencegahan kepala daerah,” tandasnya. “Apakah Pesantren Ngruki termasuk pesantren yang diawasi?” tanya wartawan.
“Saya tidak mau menunjuk satu dua pesantren. Itu tugas pemerintah daerah dalam melihat setiap indikasi di daerah,” jawab Djoko. |dtc|