
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertujuan menghakimi, memaksa, membatasi, atau melanggar hak asasi warga negara untuk melangsungkan perkawinan.
“Ketentuan itu telah memberi penghormatan, perlindungan, dan kepastian hukum kepada setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan,“ kata Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM Kementerian Agama Machasin saat membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Machasin khawatir jika MK mengabulkan permohonan yang diajukan sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu justru menimbulkan disharmonisasi.
“Jika permohonan ini dikabulkan, dapat menimbulkan disharmoni antara keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan antarumat beragama serta kerawanan dan gejolak sosial di masyarakat yang mayoritas beragama Islam,“ katanya di depan majelis hakim konstitusi yang diketuai Hamdan Zoelva.
Para pemohon yang terdiri dari Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi, `Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan’ itu telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama.
Pemohon menilai ketentuan tersebut berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama sehingga mengandung unsur `pemaksaan’ warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.
Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Mereka mencontohkan perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan pasal tersebut.
Pasal itu juga dinilai Pemohon menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia. Hal ini karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun institusional.
“Masyarakat Indonesia, khususnya yang hendak melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti hukum agama, menghindari pasal itu. Yaitu dengan cara melakukan penyelundupan hukum,” ujar Damian.
“Modus yang digunakan adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri dan melakukan perkawinan secara adat,” tambahnya. (sol/mi)