JAKARTA – Wacana tentang teroris, separatis, dan kekerasan atas nama agama kembali dibahas dalam simposium internasional bertajuk “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” yang berlangsung di Hotel Le Meridien, Jakarta Selatan, Selasa (27/7) siang. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf diundang berbicara dalam simposium itu. Ia nyatakan, terorisme bekerja dengan tiga cara dan ada tujuh alasan mengapa kelompok teroris masuk Aceh.
Dalam acara yang dibuka Menkopolhukam itu, Irwandi mengawali paparannya dengan membeberkan berbagai peristiwa di Aceh. Mulai dari konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), teroris Jemaah Islamiyah (JI) yang mencuat pertengahan Februari-Maret lalu, serta isu pemurtadan yang terungkap di Aceh Barat dalam sepuluh hari terakhir. Simposum itu sempat menghangat ketika saat pembukaan, seorang petinggi Mabes Polri, di depan seratusan peserta, menyebut bahwa GAM termasuk salah satu bentuk terorisme di Indonesia. Alasannya, karena GAM terlibat melakukan kekerasan melawan negara di Aceh.
Dengan tegas Irwandi membantah tuduhan ini. “Tidak benar kalau GAM teroris. Kalau saja tuduhan itu benar, berarti betapa bodohnya Pemerintah Indonesia yang mau berdamai dengan teroris,” kata pria yang di kalangan GAM dijuluki “Tgk Agam” ini. Perjuangan yang dilakukan GAM selama ini, menurut Irwandi, adalah gerakan pembebasan nasional (national liberation front). “Tapi semua masalah itu sudah selesai dengan adanya MoU Helsinki tahun 2005. Jadi, mari kita petik pelajaran dari masa lalu itu. Sekarang Aceh sudah bagian dari NKRI,” kata gubernur yang terpilih tahun 2006 melalui jalur independen (perseorangan) ini.
Sejalan dengan Irwandi, Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono yang tampil sebagai pembicara, turut memperkuat pandangan tersebut. Mantan kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) ini menegaskan bahwa teroris selalu menjadikan korbannya masyarakat sipil. “Yang seharusnya bukan korban, mereka jadikan sasaran. Berbeda dengan perjuangan. Jika dalam sebuah perang, yang menjadi sasaran adalah musuh, maka itu bukan kategori teroris,” tambah Hendro.
Irwandi dan Hendropriyono tampil bersamaan dalam kelompok 5 yang membahas mata rantai gerakan teroris dan separatis. Dari lima kelompok diskusi yang dibentuk pada simposium itu kemarin, diskusi di kelompok 5 paling banyak diminati pengunjung. Diskusi yang harusnya berjalan 2,5 jam, berlanjut hingga lebih dari tiga jam. Banyak peserta berasal dari BIN, Koppasus, perwira polisi, dan akademisi. Irwandi dan Hendropriyono bergantian memberi paparan dan menjawab pertanyaan tentang terorisme di Indonesia, termasuk di Aceh.
Tujuh alasan
Menurut Irwandi, ada tujuh alasan mengapa teroris radikal sempat masuk Aceh beberapa waktu lalu. Pertama, lokasi Aceh yang sangat strategis dan dekat dengan dunia internasional, serta jauh dari pusat kekuasaan, menjadi salah satu alasan mengapa wilayah ini yang dipilih sebagai pusat pelatihan teroris Asia Tenggara.
Dengan kelebihan geografis ini akan memudahkan para teroris melakukan hubungan dengan jaringan internasionalnya, seperti yang pernah dilakukan GAM sebelumnya. Pemasokan senjata juga lebih mudah karena bisa dilakukan melalui jalur laut. Kedua, teroris sangat yakin diterima dengan tangan terbuka oleh rakyat Aceh, apalagi dengan membawa isu Islam. Kelompok ini menganggap, dengan mengusung isu Islam, mereka bakal diterima di Aceh. Padahal, dalam sejarah peradaban Islam Aceh, tidak pernah ada secuil kisah pun tentang Islam radikal. Militansi Islam di Aceh bukanlah militansi Islam radikal, melainkan militansi karena sangat fanatik dengan Islam.
Ketiga, perdamaian di Aceh masih dalam proses. Kelompok ini berasumsi ada mantan kombatan GAM yang kecewa dengan perdamaian di Aceh. Kelompok ini dianggap sangat potensial untuk dirangkul, di samping senjata yang diduga masih ada di tangan warga sipil, bisa digunakan. Nyatanya, tidak ada eks kombatan yang ikut dalam kelompok mereka.
Keempat, sebagai daerah yang pernah terlibat konflik separatis, di kawasan pedalaman Aceh sangat banyak tempat yang bisa dijadikan kamp latihan militer. Lokasi itu biasanya sangat strategis dan jauh dari perkotaan. Senjata sisa konflik juga masih beredar di tangan masyarakat. Fasilitas ini sangat mendukung kegiatan latihan teroris.
Kelima, mereka menganggap saat ini aparat keamanan tengah fokus menjaga perdamaian Aceh. Gerakan perdamaian itu lebih banyak dilakukan di perkotaan, sementara kawasan pedesaan akan luput dari perhatian. Kesempatan ini yang kemudian digunakan teroris untuk melakukan pelatihan di kamp-kamp pelatihan yang ada di Aceh.
Keenam, hubungan yang belum harmonis atau dendam yang masih ada di kalangan masyarakat terhadap aparat keamanan bisa menjadi “mesiu” bagi mereka untuk mendapat dukungan. Ketujuh, sesuai dengan perjanjian MoU Helsinki, jumlah aparat keamanan di Aceh dibatasi. Polisi hanya berjumlah 14.000 orang dan TNI sekitar 9.200 personel. Pembatasan jumlah personel polisi dan TNI ini membuat ruang gerak teroris ini menjadi lebih aman dan leluasa.
Untuk alasan terakhir ini, Irwandi mengatakan sebenarnya sudah ada kompromi soal jumlah polisi di Aceh. “Jumlah polisi di Aceh tidak mesti sesuai dengan MoU Helsinki. Jumlah polisi di Aceh harus disesuaikan dengan kebutuhan ideal: jumlah penduduk dan luas wilayah,” katanya. Hanya saja, Irwandi meminta agar jangan ada polisi yang bermental bobrok di Aceh.
Tiga cara
Dalam makalahnya, Irwandi menjelaskan, teroris melakukan kegiatannya dengan tiga cara. Pertama, menyerang objek-objek yang seharusnya tidak diserang. Karena itu, terorisme sering sekali dianggap sebuah metode perang yang secara sengaja menyerang objek yang seharusnya tidak diserang.
Kedua, menyerang siapa saja dan kapan saja, termasuk menyerang kehidupan masyarakat banyak. Negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyatnya, justru menjadi sasaran permintaan pertanggungjawaban oleh publik. Ketiga, dengan aksi kekerasannya, para teroris ini berharap akan ada pembalasan. Aksi terorisme tidak pernah berujung pada pengakuan kekalahan dari satu pihak, karena yang mereka harapkan adalah kekisruhan yang makin menegangkan.
“Semakin ada serangan balasan, maka teroris akan semakin senang. Nah, teroris jenis inilah yang masuk ke Aceh pada Februari hingga Maret lalu. Tapi mereka tidak bisa diterima masyarakat, karena itu mereka cepat tertangkap,” kata Irwandi. Pada sesi terakhir, Irwandi membahas soal pemurtadan di Aceh Barat yang, menurutnya, bisa sebagai pemicu konflik. Namun, ia memuji sikap masyarakat Aceh Barat yang menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada aparat keamanan. Simposium yang digagas Mabes Polri ini berlangsung hingga hari ini dengan menghadirkan beberapa pembicara dari Pemerintah Saudi Arabia dan Singapura. Simposium yang kemarin berlangsung seru itu berakhir pukul 18.40 WIB.
sumber: serambinews.com