Tunagrahita. Barangkali orang nyaris tak pernah mendengarnya. Sekalipun bukan kategori cacat fisik, mereka adalah juga penyandang cacat. Sering kali orang menyebutnya dengan istilah keterbelakangan. Namun, mereka sesungguhnya penyandang cacat fisik dan intelektual. Di kategori penyandang cacat, nasib mereka masih terabaikan.
Buat sosok bernama R Astuti Aryanto, tunagrahita adalah bagian dari perjuangan hidupnya. Ketika mereka nyaris tak diperhitungkan, bahkan dalam kategori orang cacat, dia justru memberdayakannya. Wanita yang akrab disapa Bu Aryanto itu memberi perhatian penuh pada penyandang tunagrahita.
“Awalnya saya mengurus semua ini, karena saya juga punya anak tunagrahita. Dody, anak bungsu saya kok sepertinya tidak ada yang mengurus. Akhirnya saya putuskan pensiun dini dari Bank Mandiri,” ujarnya ramah kepada Pembaruan, di Jakarta, Rabu (5/9).
Setelah mengambil keputusan pensiun, ia mencurahkan perhatian penuh pada perkembangan Dody yang kini sudah berusia 33 tahun. Wanita kelahiran Bandung, Juni 1935 itu, malah semakin “tertantang”. Jika memang mampu mengurus lebih dari satu orang, dia merasa wajib membantu banyak penyandang tunagrahita. Alhasil, pada tahun 1980-an, ia mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Asih Budi di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur.
“Tidak ada satu pun alat bantu yang diciptakan untuk membantu tunagrahita. Kalau tunanetra ada huruf Braille, tuna runggu ada bahasa isyarat. Tetapi tunagrahita tidak punya alat bantu apa pun,” keluh ibu lima anak ini.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengasumsikan 10 persen dari penduduk suatu negara adalah penyandang cacat. Dengan jumlah penduduk sebanyak 200 juta lebih, Indonesia paling tidak memiliki 20 juta penyandang cacat. Diperkirakan sekitar 50 persen dari penyandang cacat itu adalah tunagrahita.
“Yang tragisnya, meskipun jumlahnya paling besar, dalam pelayanan, tunagrahita paling menyedihkan. Selama ini, kebutaan dan cacat anggota fisik, paling sering menjadi ukuran kecacatan. Tetapi tunagrahita justru terlupakan. Padahal, mereka juga menyadang cacat sepanjang usia karena perkembangan intelektualnya terhambat,” tutur wanita yang menjabat penasihat SOIna, Special Olympics Indonesia.
Oleh karena itu, ia kerap menekankan pentingnya pendampingan tunagrahita oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat umum. Secara lebih konkret lagi, pada tahun 1988, dia lalu membentuk perkumpulan penyelenggara pendidikan luar biasa. Bahkan kemudian, ia memperjuangkan para penyandang tunagrahita untuk dapat masuk menjadi anggota Special Olympics International (SOI). Impian itu akhirnya terwujud dan Indonesia terdaftar sebagai anggota SOI ke-79.
“Kami merasa ini adalah jawaban untuk mengangkat harkat dan martabat tunagrahita. Tugas pertama kami adalah bukan melatih anak-anak itu dulu. Tetapi kami harus menciptakan iklim yang kondusif bahwa masyarakat mulai mengerti keberadaan kelompok yang membutuhkan,” tuturnya.
Pada tahun 1989, SOIna didirikan, salah satunya oleh Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS). Beberapa tahun kemudian, perwakilan SOI datang berkunjung untuk menyusun sejumlah program dan melakukan try out sesuai standar internasional. Alhasil pada tahun 1991, Indonesia dapat menyelenggarakan SOIna pertama di Jakarta. Berikutnya, SOIna kedua diadakan di Jakarta pada tahun 1994 dan SOIna ketiga di Bandung pada tahun 1998. Lalu pada 2002, SOIna keempat kembali diadakan di Jakarta.
“Pertama kali try out, kami ditertawai karena dinilai overprotective. Kami tidak mengikuti aturan SOI, karena anak-anak itu ditemani terus oleh guru-gurunya. Tetapi itu sudah menjadi masa lalu. Kini, SOIna sudah memasuki penyelenggaraan yang kelima,” ujarnya bangga.
Hingga akhir 2005, SOIna yang diketuai Dr Sri Soemarsih Surjadi Soedirja (periode 2002-2006) itu telah menjaring anggota sebanyak 33.3888 atlet. Kini, SOIna juga telah memiliki 33 pengurus daerah di tingkat provinsi yang terbagi dalam enam wilayah, yakni Kalimantan, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Jakarta Banten, Sulawesi, dan Indonesia Timur.
“Saya sempat berkenalan langsung dengan keluarga Eunice Kennedy Shriver yang menggagas pertandingan Special Olympics International pertama. Kebetulan, adiknya, Rosemary Kennedy adalah tunagrahita. Dia berani menantang lomba renang kakaknya, John F Kennedy (kemudian menjadi Presiden ke-35 AS, dan tewas terbunuh pada 1963, Red). Kebetulan waktu itu, saya sempat duduk dalam board international mewakili Asia Pasifik selama sembilan tahun,” katanya.
Astuti Aryanto bersama berupaya keras agar penyandang tunagrahita di Indonesia juga mendapat perhatian dari dunia internasional. Kini Indonesia mendapat bantuan tetap dari SOIna. Tetapi dana tersebut diwajibkan untuk anggaran pelatihan, bukan anggaran penyelenggaraan. Namun demikian, SOIna setidaknya lebih mampu mengadakan program yang lebih baik.
“Untuk mengangkat harkat dan martabat tunagrahita Indonesia, keberanian berbicara dan bersuara sangat menentukan. Jadi harus ada orang yang berani omong dan mau. Maka dari itu, saya juga minta tolong media massa mengangkat suara anak-anak ini,” pintanya.
Ia merasa bersyukur respons masyarakat terhadap tunagrahita tidak lagi seperti dulu. Kini mulai banyak relawan yang bersedia membantu kegiatan-kegiatan SOIna. Sejumlah perusahaan juga bersedia menjadi sponsor kegiatan-kegiatan SOIna. Bahkan untuk penyelenggaraan Pornas SOIna ke-5 di Jakarta, panitia mendapat dukungan dari 2.500 relawan, meskipun atletnya hanya sekitar 600.
“Kami terus berusaha mengatasi masalah persepsi masyarakat yang menganggap ‘ngapain urus orang-orang tunagrahita’? Kami terus sosialisasikan bahwa tunagrahita adalah anggota masyarakat yang butuh perhatian. Jumlah mereka banyak tetapi nyaris tidak dapat perhatian sama sekali,” paparnya.
Beberapa waktu lalu, ia juga menggagas berdirinya persatuan orangtua anak-anak tunagrahita se-Indonesia. Organisasi itu dibentuk atas dasar kesadaran keluarga dan guru yang menjadi komponen utama membina tunagrahita. Lewat organisasi tersebut, para anggota diberi kemampuan untuk memberdayakan tunagrahita agar tidak menjadi beban dan mampu mandiri.
“Dulu, ada anak tunagrahita yang tidak apa-apa. Sekolah diantar jemput. Lalu setelah dilatih di sekolah, dia mulai mampu mengurus diri sendiri. Jadi banyak sekali contoh nyata bahwa anak-anak tunagrahita bisa mandiri dan kalau dikasih kesempatan bisa berprestasi. Jadi jangan remehkan anak-anak ini!” ujarnya bersemangat. [sumber: dniks.org]