Sebuah studi baru yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa hanya dengan berpikir secara berbeda, hal itu dapat membantu mengendalikan keinginan.
“Kebanyakan orang berpikir bahwa alasan para perokok mengkonsumsi rokok adalah karena kurangnya kontrol diri,” kata Kevin Ochsner, profesor psikologi di Columbia University.
“Tetapi kami (para peneliti, red) menunjukkan bahwa mereka tidak kekurangan kontrol diri. Masalah yang mereka hadapi adalah mereka tidak tahu strategi apa yang harus digunakan,” lanjutnya.
Otak kita adalah kabel untuk berpikir terhadap dampak jangka pendek, apakah itu isapan pertama pada sebatang rokok atau gigitan pertama setumpuk kue dadar panas. Menurut penulis penelitian, strategi untuk mengekang hasrat tersebut hampir sederhana yaitu menyambung ulang otak untuk berpikir dampak jangka panjang.
Ochsner dan rekannya melakukan pemindaian otak untuk 21 orang yang melaporkan merokok secara teratur. Mereka mengajukan dua skenario.
Skenario pertama, mereka mengukur apa yang terjadi di otak setelah meminta perokok untuk berpikir tentang manfaat langsung dari merokok, misalnya isapan pertama pada sebatang rokok, bagaimana asap akan dirasakan saat memasuki paru-paru, atau sensasi asap yang mengepul dari mulut. Sedangkan dalam skenario kedua, perokok diminta untuk membayangkan konsekuensi jangka panjang merokok – masalah kesehatan yang berhubungan dengan itu – seperti emfisema atau penyakit jantung.
Sebagai perbandingan, hal yang sama dilakukan dengan makanan. Responden penelitian disuguhi beberapa foto makanan lezat, makanan berlemak dan diminta untuk berpikir tentang dampak jangka pendek (betapa lezatnya rasa makanan itu), dan konsekuensi jangka panjang (obesitas, diabetes, penyakit jantung), sementara aktivitas otak mereka diukur.
Ternyata, sesuatu yang sederhana seperti berfokus pada konsekuensi jangka panjang merokok (atau makan makanan berlemak) bisa mengendalikan keinginannya.
“Ini memberi kita penjelasan biologis bagaimana peraturan kognitif sebuah keinginan bekerja,” kata Hedy Kober, PhD, asisten profesor psikiatri di Yale University School of Medicine dan penulis utama studi tersebut.
“Dengan mengubah cara mereka berpikir tentang rokok di saat-saat ketagihan, dengan berfokus pada konsekuensi jangka panjang negatif, para perokok dapat mengurangi keinginan dan mengubah aktivitas otak mereka sendiri,” ujarnya.
Perlu diketahui, dua area otak yang bekerja saat kita mendambakan sesuatu adalah korteks prefrontal dan ventral striatum. Korteks prefrontal adalah wilayah yang terkait dengan penalaran, sedangkan ventral striatum merupakan bagian yang dikaitkan dengan emosi, hasrat, dan keinginan. Di antara peserta penelitian, ternyata tingkat menahan hasrat yang mengaktifkan bagian penalaran dari otak justru lebih besar dibandingkan area keinginan.
Selain menyambung kembali kabel otak, membentuk kembali bagaimana orang berpikir tentang keinginan, jauh lebih rumit dan merupakan proses yang panjang. Lalu ada pertanyaan penting tentang dasar-dasar biologis dari kecanduan. Namun, penulis penelitian mengatakan bahwa berpikir secara berbeda adalah terapi yang kuat. Demikian yang dilansir oleh salah satu blogger di situs beralamat pagingdrgupta.blogs.cnn.com
“Ini butuh usaha yang berkelanjutan terus-menerus,” kata Ochsner.
“Ini mengajarkan Anda jenis baru respon emosi daripada hanya sekadar berjalan secara refleks. Lamban dan menyakitkan, tetapi kami benar-benar memiliki potensi untuk melakukannya,” lanjutnya. (evy)
foto : cnn.com