Reformasi di tubuh TNI dinilai berjalan setengah hati. UU TNI yang ada saat ini hanya berlaku di level kebijakan tanpa menyentuh sampai ke prajurit di lapangan.
“UU TNI yang ada sekarang ini sudah cukup mewakili, bisa mereformasi TNI secara keseluruhan. Sayangnya, UU yang bagus ini hanya berlaku di level kebijakan saja tidak menyentuh sampai ke operasional prajurit di lapangan,” ujar wakil ketua Komisi Pertahanan dan Intelijen DPR, TB Hassanudin.
Hal itu disampaikan usai mengikuti diskusi bertajuk ‘Koreksi Masyarakat Sipil Terhadap Reformasi TNI’ di Kantor Kontras, Jl Borubudur, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2011).
Di mata politisi PDIP ini, terseretnya nama Marsdya Rio Mendung Thalieb terkait kasus penggelapan dana nasabah Citibank, adalah salah satu bentuk gagalnya reformasi TNI. Tidak hanya itu, citra anggota TNI juga sering dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM.
“Kasus Rio Mendung itu bentuk tidak pahamnya terhadap UU TNI dan kontrol legislatif yang masih lemah,” ungkapnya.
Agar reformasi ini bisa terwujud, ada beberapa faktor yang harus dibenahi TNI. Harus ada political will dari presiden. Kemampuan Panglima TNI juga tak kalah penting, karena dinilai kurang tanggap dalam menuntaskan beberapa kasus.
“Contohnya pada operasi Sajadah dalam rangka meminimalisir pengaruh Ahmadiyah di Jawa Barat,” katanya.
Pemahaman yang lemah tentang perundang-undangan juga menghambat perbaikan TNI. UU juga tidak menjelaskan tentang sanksi yang tegas bagi para anggota yang melanggar aturan.
“Tekanan publik pada TNI juga dinilai kurang, harusnya publik bisa lebih menekan dan meminta tanggung jawab TNI tehadap aksi-aksi yang dilakukan di lapangan,” jelas Hassanudin.
Agar semua itu terwujud, Hassanudin menyarankan pengawasan di lembaga ini lebih ditingkatkan. UU juga diharapkan bisa menjelaskan posisi abu-abu TNI untuk membantu polisi seperti yang termuat pada UU Perbantuan.
“Jika itu dilaksanakan, maka reformasi TNI dapat menyentuh hingga pada level paling bawah,” tandasnya. |dtc|