
Jakarta – Banjir sekitar dua meter melanda warga Pondok Labu, Jakarta Selatan. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pun menjanjikan pembangunan waduk seluas 1,6 hektar untuk mengatasi banjir itu. Pembangunan waduk itu jangan hanya sebatas wacana.
“Ini seringkali wacana tinggal wacana. Apalagi kalau bukan berbenturan dengan pembebasan tanah. Nah kalau pembebasan tanahnya lambat, bisa juga ditunda entah kapan. Jangan hanya wacana,” kata pengamat transportasi dan tata ruang kota, Yayat Supriyatna.
Berikut ini wawancara wartawan dengan akademisi Universitas Trisaksi Jakarta ini, Senin (31/10/2011):
Pondok Labu tiba-tiba banjir hingga dua meter sehingga mengagetkan warga. Mengapa bisa terjadi demikian?
Di situ ada Kali Krukut. Itu persoalannya kan, kalau banjir terkait badan air atau sungai yang tidak mampu menampung volume air. Hal ini dikarenakan sedimentasi sekitar Pondok Labu, di mana seharusnya sejak tahun lalu atau 2 tahun lalu dikeruk. Namun karena persoalan pendanaan, maka belum bisa dilakukan karena dananya juga tergantung pinjaman luar negeri. Nah ini kemudian berakibat pada masyarakat yang harus menerima.
Selain masalah kali juga sistem drainase. Dengan tumbuh kembangnya permukiman di Pondok Labu jelas ada pembangunan drainase yang tidak teratur dan terencana. Dulu di sana kan kawasan resapan air dan wilayah hijau. Dengan berubahnya kawasan ini, ada kegiatan komersial dan pemukiman padat sehingga mengurangi resapan air.
Perlu perbaikan drainase segera?
Iya, karena drainase tidak tertata. Drainase tetap segitu, padahal harus menampung buangan yang baru, akibatnya perubahan peruntukan lahan atau area. Tidak dilakukan penataan besar drainase yang ada, padahal drainase yang ada di sana adalah drainase lama.
Mungkin drainase yang lama tidak terpelihara semua, lalu harus tampung air yang banyak. Genangan yang terjadi juga apakan karena banyak sampah di drainase atau karena gorong-gorong ditutup.
Dengan melihat kondisi Jakarta, perlukah penjadwalan pengerukan kali di Ibukota?
Tidak ada jadwal yang pasti, yang penting agar terpelihara saja. Sungai bisa saja dikeruk tiap tahun, kalau kiri dan kanannya hancur, buangan limbah tinggi, longsoran atau sedimentasi perubahan kawasan sangat besar, dan pendangkalan cepat. Lebar sungai juga semakin mengecil. Dulu mungkin 10 meter, sekarang tinggal 4 meter. Hal ini karena di kanan dan kiri sungai padat perumahan.
Pemprov DKI berencana membangun waduk untuk mengatasi banjir di Pondok Labu. Langkah tepat?
Terlalu banyak rencana. Dulu konsep tata ruang begitu, akan dibangun situ atau waduk untuk area tangkapan air, untuk jadi penyimpan air supaya tidak meluap ke mana-mana. Drainase itu nanti akan disalurkan ke waduk atau situ temporary. Nah, kalau volume meningkat akan salurkan ke tempat primer, yakni yang berupa sungai.
Ini seringkali wacana tinggal wacana. Apalagi kalau bukan berbenturan dengan pembebasan tanah. Nah kalau pembebasan tanahnya lambat, bisa juga ditunda entah kapan. Jangan hanya wacana.
Dinas Pekerjaan Umum mengklaim sudah memperbaiki pompa sejumlah waduk dan mengeruk sungai, juga memperbesar saluran air. Ini strategi antisipasi banjir yang sudah maksimal?
Pekerjaan itu kan pekerjaan berbasis proyek. Itu kan ada pekerjaan struktural, juga pekerjaan non-struktural, nah ini yang lupa. Tidak ditangani serius terkait misalnya pembuatan lubang biopori, sumur resapan dan penghijauan.
Di daerah resapan air, Koefisien Dasar Bangunan (KDB) harus sebesar 20 persen. Artinya hanya 20 persen dari luas tanah tersebut yang dapat dibangun, sehingga sisanya yang 70-80 persen untuk resapan air. Nah ini berjalan atau tidak? Jangan-jangan tertunda karena warga tidak mendapat insentif, tidak ada daya tarik.
Misalnya di Condet nih, seharusnya 70 persen lahan untuk resapan sungai. Lalu warga diminta menanam pohon salak. Karena merasa menanam salak tidak menguntungkan dibanding pembangunan kontrakan, maka warga memilih membangun kontrakan. Apalagi sekarang serba ekonomis.
Baru awal musim penghujan sudah banjir 2 meter sehingga warga Pondok Labu harus mengungsi. Ini indikasi akan mengalami hal yang sama seperti Thailand?
Beda. Wilayah genangan juga semakin berubah. Dulu kan banyak banjir terjadi di sekitar kawasan yang dekat dengan 13 sungai di Jakarta. Semenjak Kanal Banjir Timur (KBT), langganan banjir sudah tidak separah yang dulu. Cuma masalahnya, aliran sungai tidak diperhatikan. Kan ada 13 sungai yang dikelola pusat dan 11 sungai dikelola pemda yang belum dilakukan pengerukan.
Thailand beda dengan kita. Di Thailand kan terjadi karena kesalahan prediksi peramalan cuaca. Jadi mereka punya banyak waduk, diperkirakan belum akan masuk musim hujan, jadi air waduk belum sempat digelontorkan. |dtc|