Modus operandi kriminal kian beragam bentuknya. Segala upaya dijalankan oleh pelaku kriminal untuk mendapatkan uang melimpah, salah satunya dengan cara menculik korban yang tak berdaya seperti anak-anak.
Masih ingat penculikan anak seorang pengusaha bernama Raisya, anak artis
Ironis sekali, ketika anak-anak yang sedang beraktivitas di luar rumah tiba-tiba diculik. Dengan ancaman tidak boleh melapor ke polisi, penculik lalu meminta uang tebusan yang harus diserahkan dalam batas waktu tertentu.
Ancaman dari pelaku sering membuat orangtua tidak berdaya karena biasanya uang tebusan yang diminta penculik jumlahnya sangat banyak dan di luar kemampuan orangtua.
Kepala Subbidang Publikasi Humas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Sri Wuriani mengungkapkan, pelaku penculikan bukan hanya mengincar keluarga kaya raya, tetapi juga keluarga dengan kehidupan ekonomi pas-pasan.
“Penculik berpikir setiap orangtua akan berusaha mencari uang untuk anak-anaknya meskipun harus berutang,” kata Wuri.
Menurut Wuri, penculik bisa beroperasi di mana saja. Bukan hanya di sekolah atau di rumah, tapi juga di tempat umum seperti mall, hotel, pasar, terminal, stasiun, atau di pinggir jalan. Korban yang diincar pun bukan hanya anak balita, tetapi bisa juga remaja atau orang dewasa tanpa membedakan jenis kelamin.
Anak-anak sekolah yang menunggu jemputan juga rawan menjadi korban penculikan. Penculik biasanya datang ke sekolah dan mengaku sebagai orang yang disuruh orangtua untuk menjemput anak. “Sekolah sebaiknya memberlakukan sistem pengawasan ketat sehingga bisa mengontrol siapa saja yang menjemput anak,” paparnya.
Sementara di Jakarta, sebuah SD swasta memberlakukan kartu khusus yang diberikan kepada orang yang bertugas menjemput anak. Sekolah tidak melepaskan anak-anaknya jika yang datang menjemput bukan pemegang kartu tersebut. Penculikan terhadap anak paling mudah dilakukan karena anak-anak mudah dipengaruhi iming-iming hadiah dan uang.
Sementara itu Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, menyarankan adanya panduan pengamanan yang melibatkan masyarakat sekitar. Biasanya, sebelum beraksi, penculik bertanya-tanya kepada masyarakat sekitar.
Menurut Kak Seto, guna mencegah penculikan anak, orangtua harus menjalin komunikasi efektif dengan anak. Dengan cara itu, orangtua dapat memantau anak. “Adakalanya, saat anak enggan pergi ke sekolah, anak memiliki perasaan tidak enak, akan terjadi sesuatu dengan dirinya,” kata Kak Seto.
Kebiasaan buruk orangtua, yakni mendandani anak dengan berbagai perhiasan dan membekalinya dengan telepon seluler, harus dihentikan. Berbagai barang berharga itu dapat mengundang tindak kejahatan. Selian itu, orangtua dan anak juga perlu menghafal nomor telepon kepolisian yang mudah dihubungi. “Coba, berapa banyak orangtua dan anak yang hafal nomor telepon polisi,” ujarnya.
Pengamat Intelijen Wawan H Purwanto menilai maraknya kasus penculikan anak dikarenakan motif ekonomi yang berujung kepada tindak pemerasan dan kelilit utang. Menurutnya, yang paling utama bagaimana sekolah proaktif mencegah adanya tindakan-tindakan penculikan seperti itu dan bagaimana perekonomian bangkit.
Wawan menganjurkan perlunya sensor film yang kurang mendidik seperti film penculikan yang akhir-akhir ini sering muncul di televisi. Hal ini mengakibatkan orang-orang tak bertanggung-jawab terinpirasi untuk melakukan penculikan karena dililit utang.
Antisipasi ke depan menurut Wawan, setiap sekolah perlu membuat semacam kartu untuk dipakai anak-anak guna mengetahui bahwa mereka sudah dijemput dan penjemputnya harus memakai tanda itu pula. “Jika si penjemput tidak bisa menunjukkan kartunya itu, maka dia adalah orang lain yang di duga bermaksud untuk menculik,” katanya.[] berbagai sumber