Terobosan hukum Yusril Ihza Mahendra yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) dinilai tepat. Sebab, keputusan hakim yang dirujuk berulang-ulang akhirnya menjadi setara dengan UU. Meski dalam UUD 1945, tidak tertulis secara eksplisit bahwa MK berwenang menguji yurisprudensi.
“Bisa,” kata pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin saat berbincang dengan detikcom, Minggu, (11/11/2011).
Irman menjelaskan, konstitusi dibuat untuk menjaga hak-hak konstitusional warga negara. Guna menjaga hak ini, maka dibutuhkan MK. Hak konstitusial ini tidak boleh ada yang melanggar. Pelanggaran ini bisa dilakukan oleh DPR dengan membuat UU yang bertentangan dengan konstitusi.
“UU kan yang bikin legislatif. Bagaimana yang melanggar adalah MA? Jika MA membuat produk hukum yang keliru?” terang Irman.
Permasalahan yurisprudensi yang tidak tertuang dalam UUD 1945 bukan masalah besar. Sebab, MK bisa menafsirkan yurisprudensi setara dengan UU apabila yurisprudensi tersebut menggeser pasal UU. “Saya mendengar bahwa hakim konstitusi ada yang sepakat yurisprudensi setara dengan UU. Tapi tidak mayoritas,” ungkap Irman.
Seperti diketahui, Yusril, meminta MK membatalkan yurisprudensi MA terkait dibolehkannya jaksa melakukan banding atau kasasi melanggar karena Pasal 67 dan 244 KUHAP. Hal ini nyata-nyata telah menggeser dan mengeyampingkan UU. MA melakukannya bukan untuk mengisi kekosongan hukum serta bukan untuk memberikan penafsiran yang tepat terhadap UU.
Pelanggaran pasal 67 dan 244 KUHAP ini pertama kali terjadi pada tahun 1983. Yaitu perkara pidana korupsi Direktur Bank Bumi Daya (BBD) Raden Sonson Natalegawa dengan putusan pidana 2 tahun 6 bulan. |dtc|