
Jakarta – Kalangan pebisnis sepakat dengan rencana penyatuan zona waktu di Indonesia. Sebelum rencana ini direalisasikan harus ada kajian yang komprehensif tentang sisi positif dan negatifnya. Yang juga perlu diperhatikan, kebijakan zona waktu juga harus memperhatikan jam matahari.
“Kalau saya sebagai peneliti terkait masalah matahari dan perubahan harian matahari, maka akan concern pada perilaku manusia yang terkait terbit dan terbenamnya matahari. Matahari ini lebih berpengaruh pada aktivitas manusia ketimbang jam. Jam itu menyesuaikan aktivitas, bukan aktivitas menyesuaikan jam,” ujar Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin.
Berikut ini wawancara wartawan dengan alumnus Universitas Kyoto, Jepang, ini pada Rabu (14/3/2012):
Kalangan pebisnis mengusulkan penyatuan zona waktu di Indonesia. Pendapat Anda?
Ini sebenarnya kajiannya sudah lama, tetapi menurut saya belum ada kajian komprehensif. Saya browsing di internet, ternyata Perusahaan Listrik Negara (PLN) punya kajian sendiri, lalu kalangan bisnis juga punya kajian sendiri. Tampaknya pernah ada juga work group discussion, tapi belum semua pihak diikutsertakan. Kalau yang saya dapat info, hanya ambil nilai positifnya tapi belum dibandingkan dengan kemungkinan dampaknya.
Ada yang berpendapat dengan perubahan zona waktu, maka ada penghematan energi listrik, tapi belum dilihat bagaimana aktivitas manusia itu. Untuk diketahui aktivitas manusia itu bukan ditentukan jam. Menurut saya, nanti kita harus lihat bersama.
Kalau saya sebagai peneliti terkait masalah matahari dan perubahan harian matahari, maka akan concern pada perilaku manusia yang terkait terbit dan terbenamnya matahari. Matahari ini lebih berpengaruh pada aktivitas manusia ketimbang jam. Jam itu menyesuaikan aktivitas, bukan aktivitas menyesuaikan jam.
Sudah menjadi kajian yang lama?
Tahun 2004 sudah ada wacana itu. Ristek pada 2006 juga ada work group discussion, tapi pesertanya kalangan industri dan bisnis sehingga kebih mengedepankan aspek ekonomi. Pada 2011 saya juga diundang work group discussion bersama Sesneg, dan itu lebih banyak kajian astronomi dan sosial.
Jadi belum digabung ekonomi dan bisnis, juga politiknya seperti apa. Semua bidang seharusnya dipertemukan untuk dikaji. Saya pribadi belum tahu adakah kajian komprehensifnya. Kalau memang sudah ada, saya kira tidak ada salahnya disosialisasikan, lalu rumuskan kebijakannya.
Anda setuju dengan usulan penggabungan zona waktu?
Bukan pada posisi dukung atau tolak, tapi harus melihat juga kemungkinan dampak positif dan negatifnya. Sebelum dirumuskan kebijakan, perlu pertemuan semua pihak yang mungkin terkait dengan perubahan zona itu, dan harus objektif. Perlu ditimbang plus minusnya.
Bagaimana rumusan astronomi tentang zona waktu bagi suatu negara?
Setiap 15 derajat (garis bujur) jadi satu zona waktu. Tapi kemudian zona waktu juga mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan politik. Kepentingan politik ini tampak di batas negara yang membelokkan zona waktu. Kalau pertimbangan ekonomi, suatu negara berhitung menyederhanakan zona waktu dengan alasan efisiensi energi dll.
AS mempertahankan 4 zona waktu demi saving energi. Ini juga berdasar jam matahari, di mana terbit dan terbenamnya matahari bisa dilihat secara lokal. Ketika PLN mengkaji juga dilihat asumsi bahwa aktivitas manusia tidak terlalu tergantung pada jam.
Mislanya saja orang tidur tidak melihat jam, tapi lebih ke siklus biologis yang terkait siang malam. Demikian juga mematikan dan menyalakan lampu tak melihat jam. Ini lebih kepada sistem otomatis manusia. Jika merasa hari sudah gelap ya nyalakan lampu, sedangkan kalau terang dimatikan. Manusia lebih tergantung jam matahari.
Bila zona waktu dijadikan satu apa konsekuensinya?
Secara astronomi, zona waktu itu tergantung pada terbit dan terbenamnya matahari. Kalau direkayasa sehingga ada perubahan zona waktu akan ada perubahan, bisa dalam arti positif dan bisa juga negatif. Sebut saja wilayah barat harus tergesa-gesa mengejar jam kerja supaya bisa memenuhi waktu (tidak terlambat). Padahal jam matahari terlalu awal.
Sedangkan di timur ada jeda waktu yang cukup sehingga mereka tidak harus buru-buru, lebih santai untuk kejar awal jam kerja. Tapi harus dilihat fase istirahatnya.
Konsep penyatuan zona waktu ini kan karena menginginkan seluruh Indonesia serempak. Jadi masuk serempak, pulang serempak, dan istirahat serempak. Untuk istirahatnya ini saya rasa menjadi tidak serempak karena ada faktor lokal, terkait tengah hari dari jam matahari, yakni kebutuhan untuk makan siang. Bagi umat Muslim juga ada kewajiban salat zuhur.
Yang tinggal di barat, istirahatnya bisa lebih awal dari tengah hari. Tapi kalau kondisinya begitu maka perlu waktu tambahan untuk salat zuhur. Karena ada tambahan istirahat, maka menjadi tidak produktif. Ada tambahan waktu untuk melakukan kegiatan di luar jam kerja.
Kalau di wilayah timur, istirahatnya bisa lewat dari tengah hari, sehingga mungkin akan ada orang yang ambil waktu tambahan untuk makan siang. Karena sudah lapar, tapi belum jam istirahat, maka nggak bisa ditahan-tahan untuk makan siang. Kalau mau pembiasaan, maka sekian lama baru bisa.
Perlu diperhatikan, ada siklus matahari yang mengatur kehidupan manusia, ada siklus biologi. Hal ini harus dilihat secara komprehensif.
Jam matahari mutlak diperhatikan dalam penetapan zona waktu?
Jam matahari harus diperhatikan. Secara astronomi, Indonesia ada di 95 derajat bujur timur (BT) – 141 BT. Itu merupakan 46 derajat, dan setiap 15 derajat merupakan 1 zona waktu, sehingga Indonesia terbagi dalam 3 zona waktu. Garis rujukannya 105 BT atau GMT tambah 7 di (waktu Indonesia) barat. Lalu 120 BT atau GMT tambah 8 di tengah. Kemudian 135 BT atau GMT ditambah 9 untuk di timur.
Sebelumnya ada konsep 1 pulau tidak terbagi 2 zona waktu, tapi kemudian terpaksa dilanggar ketika tahun 1997 ada Keppres yang berpandangan lain, sehingga Kalimantan Barat dan Kalimantang Tengah berbeda. Kalbar itu Wita sedangkan selebihnya timur. Ini sebenarnya kurang bagus dari segi kepraktisan. Karena pada praktiknya, hanya melangkah menyeberangi batas Kalbar dan Kalteng sudah beda waktu.
Alasan China mengubah jadi satu zona waktu itu karena wilayahnya merupakan 1 daratan utuh. Hal ini beda dengan Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan. Sekat pulau bisa dijadikan batas alami untuk membedakan zona waktu. Tapi di China juga jam kerja tidak diseragamkan. Yang wilayah barat lebih belakangan daripada yang timur. Nah, kalau Indonesia menjadikan satu zona waktu karena menginginkan konsep jam kerja yang sama agak susah.
Sedangkan AS membagi wilayahnya jadi 4 zona waktu karena mereka merupakan negara serikat yang mana ada negara bagian yang punya otonomi untuk atur sendiri. Namun pembagian zona waktu ini juga termasuk alasan efisiensi.
Rumusan idealnya bagaimana?
Perlu kajian yang cermat untuk semua sektor yang terkait untuk masalah waktu ini. Harus dikaji plus minusnya. Kemudian ditimbang mau 1 zona waktu, atau tetap 3 zona waktu, atau 2 zona waktu.
Kalau mau 2 zona waktu, maka Sumatera, Jawa, Kalimantan jadi waktu bagian barat, dan selebihnya jadi waktu bagian timur. Dari segi penyederhanan zona waktu, 2 zona waktu lebih memungkinkan menghindari inefisiensi karena perbedaan jam matahari ketimbang 1 zona waktu. Kalau menurut saya, 1 zona waktu terlalu besar perbedaannya.
Nantinya harus ditekankan bahwa aktivitas manusia lebih ditentukan jam matahari, yakni saat matahari terbit dan terbenam.
Ide penerapan 1 zona waktu per 17 Agustus 2012 mendatang akan menimbulkan masalah?
Tergantung kajiannya seperti apa. Yang saya dengar, ini masih wacana terbuka yang belum sampai ke rumusan kebijakan. Terlalu cepat kalau 17 Agustus dideklarasikan dan kemudian langsung dilaksanakan. Paling aplikasinya tahun baru 2013.
Tidak bisa deklarasi dan langsung berlangsung. Ini kan menyangkut jadwal ketat penerbangan juga sehingga perlu pengaturan lebih lanjut. Biasanya kalau ada perubahan maka berlakunya pada awal tahun. Ini perlu kajian dulu. |dtc|